Perjalanan Low Budget ke Malaysia & Singapore.
Merlion Park |
Tulisan ini mungkin agak sedikit panjang, jadi semoga kalian
nggak migrain setelah membaca tulisan gue ini ya, karena gue mencoba
menjelaskan sedetail mungkin bilamana kalian butuh referensi untuk pergi
berlibur ke Malaysia atau Singapore.
Jadi semua perjalanan panjang ini
berawal dari temen gue (Yudhiet, partner gue backpacker kali ini) yang bikin
instastory tiket SUB-KLIA atau dari Surabaya ke Kuala Lumpur hanya Rp250.000
(ketika AirAsia masih bekerjasama dengan Traveloka), berawal dari situ kami
berkeinginan untuk mencoba liburan ke luar negeri yang pertama kalinya bagi
kami (liburan ya bukan lomba atau hal yang lainnya).
Jadi dalam trip ini kami memutuskan
untuk mengunjungi 3 kota, yaitu Kuala Lumpur, Singapore, dan Malacca. Hal yang
pertama dilakukan adalah booking tiket, karena ketika semakin mendekati hari H,
harga tiket pesawat akan terus mengalami kenaikan. Trip inikami lakukan pada bulan Juli 2019, jadi pada awal pertengahan bulan Februari kami sudah melakukan
pemesanan tiket PP CGK-KUL dan juga book hostel. Setelah pemesanan selesai
dilakukan, kami membicarakan tujuan-tujuan yang mungkin bisa kami kunjungi,
dengan mempertimbangkan jarak dari pusat kota / tempat penginapan kami dan juga
biaya terkait.
Karena kami punya 4 hari penuh
disana, agak banyak waktu nganggur jika hanya berkeliling Kuala Lumpur, mau
menambah tujuan ke Penang biayanya agak mahal dan jarak yang cukup jauh sekitar
360 KM. Dan saat kami cek, ternyata tiket KUL-SIN atau tujuan Changi Airport,
Singapore hanya Rp 173.700, menggunakan maskapai SCOOT. Tanpa pikir panjang, seminggu
dari pemesanan tiket pertama, kami booking tiket dari KLIA2 menuju Changi
Airport.
Rain Vortex Changi |
Menurut kabar, tempat paling
strategis untuk backpacker dan pelancong kantong kering seperti kami menginap
adalah di kawasan Bukit Bintang, tempatnya dekat dengan Monorail, Alor Street
Food, dan keramaian turis asing lainnya. Karena juga disana memang banyak
ditemukan hostel murah dibawah Rp 200.000 semalam. Untuk penginapan di
Singapore tempat paling recommended adalah kawasan Kampong Glam, atau kawasan
Bugis. Walau disini kami temukan harga yang sedikit lebih mahal, tetapi
selebihnya kamarnya bersih dan rapi ketimbang hostel yang kami tinggali di KL.
Jadi sebenarnya, kami sudah memesan
hostel di KL 6 malam full, bersamaan dengan pemesanan tiket pesawat pada
pertengahan Februari lalu. Nah setelah itu, kami baru terpikirkan untuk pergi
ke Singapore, karena sayang pada hostel yang telah kami pesan, niat awal hanya
sehari trip ke Singapore, tetapi setelah kami pikir panjang, waktu sehari saja
tidak akan cukup untuk mengunjungi list destinasi wisata SG yang telah kami
buat, jadi harus memesan hostel untuk 1 malam disana.
Dikarenakan tiket pulang balik ke
KL sangat mahal dari Changi, maka kami memutuskan untuk naik bus dari
Singapore, dengan tujuan Malacca. Harganya sedikit lebih murah dibandingkan
dengan harga tiket keberangkatan kami ke Singapore tadi, kami sangat dipermudah
karena bisa melakukan pemesanan via easybook.com.
Jadi biaya sebelum keberangkatan
yang harus sudah kami siapkan dari awal sebagai berikut:
1. Tiket
pesawat AirAsia CGK-KLIA2 = Rp 372.000
2. Tiket pesawat
AirAsia KLIA2-CGK = Rp 381.000
3. Tiket
pesawat SCOOT KLIA2-Changi = Rp 173.700
4. Tiket bus
Singapore-Malacca Central = Rp 167.000
5. Tiket bus
Malacca Sentral-Terminal Bersepadu Selatan = RM 13.7 / Rp 45.000
6. ABS Bintang
Guest House, Bukit Bintang (6 Night) = Rp 780.00 atau Rp 390.000/person
(Rp
130.000/room/night for 2 person.)
7. Kampong
@Arab Hostel, Bugis, SG (1 Night) = Rp 178.000/person
Jadi kalau ditotal sekitar 1.7 juta untuk akomodasi yang
harus dipersiapkan sebelum keberangkatan, diluar pembuatan passport. Pembuatan
passport baru 48 halaman, awal tahun 2019 masih Rp 350.000. Oh ya, untuk yang
mungkin belum mengerti. Bepergian ke luar negeri khususnya di negara-negara
Asia Tenggara dibebaskan dari visa, jadi gratis untuk durasi waktu yang
ditentukan oleh pihak imigrasi negara terkait.
DAY ONE – 4
JULI 2019
Keberangkatan
kami mulai dari Terminal Bus Kota Depok, untuk menuju bandara terdapat
transportasi bus yang langsung mengantarkan kami menuju airport. Bus Hiba
Utama, dengan harga Rp 60.000 mengantarkan kami langsung menuju terminal 2F
bandara SoeHatt, tiket bisa dibeli langsung di counter terkait di Terminal
Depok. Perjalanan ditempuh melalui jalan tol, jadi perjalanan lebih cepat dan
terhindar dari macetnya ibu kota. Berangkat pukul 10:00 pagi, karena preventive
terhadap hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, perjalanan kurang lebih
ditempuh sekitar 2 sampai 2.5 jam dari Depok menuju Tangerang.
Sebelum keberangkatan, kami
mempersiapkan data roaming terlebih dahulu agar tidak ribet ketika sudah sampai
di KL, paket 1 minggu dengan harga Rp 220.000 dari telkomsel sangatlah
membantu. Pesawat lepas landas pukul 14:30 dari SoeHatt, perjalanan membutuhkan
waktu 2 jam, tetapi kita sampai pukul 18:05 waktu setempat, karena waktu di
Malaysia 1 jam lebih cepat dari WIB.
Sesampainya
di airport kami sibuk menyalakan data raoming kami yang sedikit mengalami
trouble, menjadikan kami telat untuk mengantri bagian imigrasi. Padahal antrian
masuk Malaysia untuk asing begitu banyak sekali walau sudah dipisah dari line
warga negara Malaysia. Alhasil kami mengantri sangat lama sekali hingga memakan
waktu sekitar 2 jam hanya untuk melewati bagian imigrasi. Setelah handphone
sudah terkoneksi internet dan sudah melewati bagian imigrasi, saatnya mencari
transportasi ke pusat Kota Kuala Lumpur, KLIA2 ini tempatnya bukan di dekat
pusat kota. KLIA2 berada di Sepang, Selangor, berjarak sekitar 60 KM dan
memerlukan waktu 1 jam dari pusat Kota Kuala Lumpur.
Tiket KLIA Express |
Transportasi yang paling mudah
ditemui setelah keluar dari bagian imigrasi adalah KLIA Express, kereta bandara
yang menghubungkan KLIA 1, 2 dan KL Sentral. Setelah mendapati counter
tiketnya, kami langsung mengantri dibelakang calon penumpang lainnya. Setelah
memesan tiket betapa kagetnya ternyata harganya RM 55, hampir setara dengan Rp
190.000 kurs Rp 3.400.
KLIA Express |
Akhirnya kami tetap membelinya karena keterbatasan info
mengenai transportasi lain yang kami tahu, mungkin memang karena kurang
bertanya pada orang di sekitar airport aja sih. Tetapi memang kualitas dari
keretanya sangat nyaman, bersih dan bagus, bolehlah sekali mencoba walau
menguras kantong, sekadar pengalaman saja, tetapi tidak untuk kedua kalinya.
Waktu yang ditempuh KLIA Express menuju KL Sentral sekitar 40 menit, melewati
daerah Putrajaya, pusat pemerintahan Malaysia.
KL Central |
Setibanya di
KL Sentral, kami seperti terpukau dengan pusat transit moda transportasi umum
di Kuala Lumpur ini, begitu besar, semua jenis transportasi bersatu disini,
MRT, LRT, KTM, KLIA Express, dan juga BRT. Terintegrasi dengan mall juga, jadi
begitu ramainya tempat ini, disebelah KL Sentral juga terdapat Kawasan Little
India.
Kawasan Bukit Bintang |
Nah, untuk
mencapai kawasan Bukit Bintang, kami menggunakan Monorail KL Sentral –
Titiwangsa, hanya dengan RM 2.5 melewati 4 stasiun, tak membutuhkan waktu yang
lama, karena headway Monorail juga sebentar kami sampai di Stasiun Monorail Bukit
Bintang. Kesan pertama setelah keluar dari stasiun adalah, WOW. Tempatnya ramai
sekali, banyak turis asing lalu lalang di trotoar maupun penyebrangan jalan, banyak
musisi jalanan yang sampai menggunakan sound system, berbagai restoran,
penginapan dan juga toko tersedia, benar-benar tempat berkumpulnya pelancong
mancanegara. Walaupun budaya Indonesia dan Malaysia sebenarnya tidak begitu
jauh, tapi disini terasa sangat berbeda atmosfernya, seperti berada jauh dari
Indonesia, begitu fancy. Diversitas yang dimiliki Kota Kuala Lumpur sangatlah
tinggi, dimana 3 etnis sangat mendominasi disini, antara Muslim, Tionghoa, dan
India.
Setelah
mengamati kondisi sekitar, kami yang cukup lapar karena makan terakhir di
bandara Soekarno-Hatta tadi siang, dan kami sampai di kawasan Bukit Bintang
sekitar pukul 20:30 MST (Malaysian Standard Time), memutuskan untuk mengunjungi
kawasan Alor Street Food tidak jauh dari stasiun monorail, sekitar 300 M.
Sesampainya disana, kerumunan manusia tak terelakkan, ketika malam hari jalan ini
berubah menjadi food court, ribuan meja dan kursi makan berjajar disepanjang
jalan ini, jalanan dipenuhi orang-orang dengan perut kosong yang ingin mencoba
berbagai makanan yang mungkin jarang kami temui di daerah asal masing-masing.
Alor Street Food memiliki panjang sekitar 250 meter, sisi kanan dan kiri jalan
penuh dengan penjaja makanan yang menawarkan jualan mereka. Mayoritas hidangan
yang disediakan adalah Thai food, Chinese food, Vietnamese food. Agak susah
untuk mencari rumah makan yang menyediakan makanan halal, karena mayoritas dari
mereka menggunakan daging babi sebagai salah satu menu yang dihidangkan.
Jalan Alor |
Keramaian jalan Alor sampai
melewati tengah malam, sekitar jam 2 – 3 pagi. Ketika hendak bertransaksi
disana biasanya kami melihat pedagangnya terlebih dahulu, ketika yang berjualan
orang melayu menggunakan bahasa Indonesia campur sedikit bahasa melayu sebatas
yang kami bisa, bahkan tak sekali saja kami menemukan penjualnya berasal dari
Jawa, kalau yang jualan chinese menggunakan bahasa inggris, karena orang
chinese yang sudah lewat paruh baya terkadang ada yang tidak bisa menggunakan
bahasa melayu, jadi karena tidak fasih bahasa mandarin, memang tidak bisa sih,
kami gunakanlah bahasa inggris secukupnya.
Karena terlalu banyak makanan yang
tersedia disana, kami sampai bingung untuk memilih yang mana, sampai kami
berakhir pada ujung jalan yang sudah sepi pengunjung, terdapat warung dipinggir
jalan yang menyediakan nasi lemak dan ketika dilihat harganya cukup murah,
hanya RM10.
Setelah selesai makan, kami mencari
rute terdekat untuk mencapai hostel kami, ABS Bintang Guest House jalan Bukit
Bintang. Tak lama setelah jalan, kami sudah menemukan board nama hostel kami.
Tetapi yang kami herankan adalah, tempat kami berdiri itu adalah money changer
dan hostel lain, namun diantara 2 bangunan tersebut ada tangga sempit kurang
dari 1.5 M. Ternyata hostel kami berada di lantai 3 bangunan tersebut, tidak
begitu besar. Hanya satu lantai dan terdapat belasan kamar dan 2 kamar mandi
umum di ujung lorong kamar. Sebenarnya kondisi hostel ini dibawah ekspektasi
kami, terutama bagian kamar tidur dan kamar mandi. Kamar tidur yang tidak
terdapat ventilasi menjadikannya lembab dan terasa pengap, walaupun terdapat ac
didalamnya tetap terasa berbeda feelnya. Kemudian kamar mandi, mungkin
dikarenakan untuk umum, menjadikannya kurang nyaman untuk dipakai karena
terdapat bekas rambut-rambut yang tersisa di lantai sehabis pengguna
sebelumnya, atau pun bekas jejak kaki yang kotor, membuatnya terasa sedikit
terganggu.
Terlepas dari bagaimana keadaan
hostel, tetap dinikmati sajalah, nggak mungkin juga mau pindah hostel yang
lainnya. Karena kami ingin memaksimalkan waktu yang kami miliki disana untuk
mengunjungi lokasi yang menarik. Selepas check in hostel pukul 22:30 MST, berberes
pakaian yang ada di tas, membersihkan diri dan berganti pakaian yang lebih
santai, kami memutuskan untuk berangkat menuju Petronas Tower, yang berjarak
1.5 KM dari penginapan, dengan berjalan kaki sambil menikmati suasana malam
Kota Kuala Lumpur. Berangkat dari hostel sekitar pukul 23:15 MST, perjalanan
ditempuh sekitar 30 menit, walau dilakukan dengan jalan santai ternyata cukup
melelahkan, apalagi harga air mineral di KL harganya cukup mahal, beberapa kali
lipat harga normal di Indonesia.
Jalur pedestrian menuju KL Tower |
Walau puncak menara Petronas
terlihat dari kawasan penginapan kami di Bukit Bintang, ternyata saat jalan
kaki tidak sedekat yang kami bayangkan. Setelah berkeluh kesah ria, sampai di
depan Mall Suria KLCC yang mana diatasnya adalah Petronas Tower, setelah
memutari kawasan ini sampalah kami di bagian depan yang terdapat taman dan air
mancur, tempat iconic untuk mengambil foto karena terdapat space yang luas
untuk mendapatkan angle yang bagus didepan Petronas. Sesampainya kami di taman
itu, tak hanya kami yang ingin mengabadikan momen, tetapi juga banyak wisatawan
lain yang antusias untuk mengambil gambar.
Satu dua foto baru kami ambil,
terdapat suara peluit dan teriakan “close,
close….” Yang menandakan bahwa Taman KLCC sudah hendak ditutup, setelah
kami tengok ternyata jam sudah menunjukkan pukul 00:00 MST. Kami yang baru
sampai disana dengan perjuangan yang tidak mudah begitu terkejut mendengar hal
ini, satu per satu lampu sorot Petronas mulai dimatikan dan mulai gelaplah
kawasan itu. Kami mengikuti kerumunan lain untuk segera keluar dari area taman.
Dan akhirnya sampailah di trotoar yang berada tepat didepan Taman KLCC tadi,
karena masih bisa mendapatkan angle foto yang cukup bagus dan mendapat sorot
dari gedung di depan Petronas yang bercahaya sangat terang, walaupun lampu-lampu
sorot Petronas sudah dimatikan.
Dan, selesailah hari pertama kami
di Kuala Lumpur ketika sampai di penginapan pukul 2 malam, dengan jalan kaki
juga tentunya. Hari pertama yang begitu melelahkan tetapi mengasyikkan.
Cerita berikutnya dapat kalian klik disini.
follow instagram @khafid_nrd untuk bertanya apapun mengenai perjalanan ini..
Mantap min, sangat membantu para backpacker sperti kami
BalasHapus