Kamis, 09 Januari 2020

DESA WAE REBO, FLORES - DESA DIATAS AWAN






DESA WAE REBO, FLORES.




Desa Wae Rebo sering disebut “desa diatas awan” karena memang posisinya berada di antara dataran tinggi, berada pada ketinggian 1200 mdpl. Dengan masyarakat yang masih mempertahankan budaya dan keunikan yang mereka miliki. Memiliki rumah dengan ciri khas yang unik, berbentuk kerucut yang beratapkan ijuk, yang disebut Mbaru Niang. Dalam satu rumah Mbaru Niang bisa dihuni oleh sekitar 6 keluarga.

Untuk mencapai Wae Rebo ada 2 pilihan yang bisa dipakai, pertama menggunakan agen tour yang sangat mudah karena perjalanan menggunakan mobil, mendapatkan jatah makan yang teratur, dan juga guide. Namun pilihan ini teruntuk kalian yang memiliki modal besar dalam perjalanan dan ingin lebih santai karena tidak perlu mengendarai motor yang cukup lama. Biaya yang dikeluarkan mulai 1.2 jt sampai dengan 1.8 jt untuk perjalanan selama 2 hari. Biasa guide menyediakan dokumentasi juga, untuk harga 1.8 jt akan mendapat fasilitas drone untuk pengambilan gambar dan video dari atas udara untuk mendapatkan view berbeda.

 Pilihan kedua berangkat sendiri dengan menyewa motor, dapat disewa disepanjang jalan Sukarno-hatta yang terletak disebelah pelabuhan Labuan Bajo. Biaya sewa perhari Rp 75.000 dengan menyerahkan KTP sebagai jaminan, kondisi motor masih terbilang baru dan bagus. Mengingat jarak yang cukup jauh dari pusat keramaian Labuan Bajo, yaitu sekitar 150 km, separuh perjalanan pertama masih dengan jalan yang bagus dan sebagian baru di perbaiki, setengah jalan berikutnya yang merupakan jalur pantai merupakan jalur yang cukup rusak, berbatu, melewati beberapa sungai kecil yang tidak memiliki jembatan dan juga sepi, jadi dibutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk mencapai Desa Denge, desa terdekat dari Wae Rebo yang merupakan pos pertama sebelum mendaki.

Ketika Anda berada di Labuan Bajo, hanya perlu mengikuti papan penunjuk jalan menuju Ruteng, karena memang jalan yang digunakan searah, dan tidak terlalu banyak persimpangan mengingat daerahnya merupakan area pegunungan, jadi cukup mudah untuk dilalui. Setelah mencapai daerah Lembor, lebih tepatnya pasar Lembor ada pertingaan ke kanan yang mengarah ke Desa Nanga Lili, jalannya tidak terlalu besar memang tapi itu adalah jalan tercepat untuk menuju Wae Rebo dibandingkan memutar lewat jalur atas yang lebih jauh.

Jalannya memang cukup sepi dan berada terus di dekat pantai, jalan berbatu dan luapan air sungai banyak ditemui disini. Untungnya sudah banyak dibangun jembatan besar sehingga akses lebih mudah. Disepanjang jalan banyak ditemui anak kecil yang sangat ramah dan sering menyapa turis yang sedang berkunjung kesana, sungguh sangat terasa hangat.


Jika anda menggunakan google maps, Anda tidak bisa langsung mengarahkan maps anda ke Desa Wae Rebo, karena tidak ada jalur langsung mengarah kesana. Anda dapat mengarahkan tujuan Anda ke SDK Denge, karena lokasinya tidak jauh dari pos 1 parkiran menuju Wae Rebo.

Sesampainya di area parkir kendaraan, Anda akan banyak didatangi oleh porter yang menawarkan bantuan untuk membawakan barang bawaan Anda, tidak diketahui dengan jelas berapa ongkos yang diperlukan untuk itu. Disediakan juga tongkat kayu untuk membantu para pendatang mendaki dengan harga sewa 10.000 rupiah per tongkat.





 Menurut para porter tersebut, jarak yang akan dilalui sejauh 5 km. Pada awal memulai sudah disambut dengan jalanan yang cukup menanjak sampai dengan pos 2, posnya hanya sekadar pagar besi yang bias melihat view pegunungan, setelah pos 2 sampai dengan pos 3 jalan sudah mulai cukup stabil dan landai dibandingkan dengan sebelumnya.

 Sangat tidak direkomendasikan untuk memakai flat shoes atau sandal jepit. Pakailah sepatu atau sandal gunung dan juga kaos kaki karena menurut beberapa orang mereka banyak menemukan lintah yang menempel di kaki sepanjang perjalanan, dikarenakan musim penghujan.

Tak lama setelah Saya mulai mendaki, awan pun mulai menutupi area tersebut dan turunlah hujan yang cukup deras, sangat lama dan tidak kunjung reda, jadi jangan lupa untuk selalu membawa payung ataupun jas hujan saat hendak kesana. Jalan licin juga menghambat jalannya kaki ini, tidak ditemukan seorang pun diperjalanan hingga sampai pada pos terakhir, terdapat 2 orang yang sedang meneduh karena tidak membawa peralatan anti hujan.

pos 3
Di pos 3 ini terdapat sebuah bambu yang harus di pukul untuk menandakan ada orang yang hendak berkunjung ke desa tersebut. Desa sudah terlihat dari pos 3 ini, berarti perjalanan tidaklah jauh lagi. Trekking memerlukan waktu 1 jam 45 menit, untuk orang yang terbiasa berjalan ataupun olahraga, beberapa teman lain ada yang 2,5 jam dan 3,5 jam untuk dapat sampai ke Wae Rebo.

Melihat lamanya perjalanan yang dilalui, tidak disarankan untuk tek tok atau pulang-pergi di hari yang sama, karena akan sangat melelahkan. Biaya untuk menginap sebesar 350.000 rupiah, sudah termasuk makan 2 kali saat kalian sampai, dan juga sarapan dikeesokan harinya.

Awal mulai memasuki desa, akan diarahkan untuk menuju rumah utama ketua adat untuk menjalani proses upacara penyambutan, tujuannya untuk memintakan izin kepada leluhur setempat bahwa ada tamu yang hendak berkunjung.


Cerita warga setempat, ada seorang turis asing yang sedang berkunjung, dikarenakan sedang ada perayaan di desa, jadi tidak semua pengunjung bisa mengikuti upacara penyambutan. Dia melakukan beberapa take foto, setelah dilihat, foto pun tidak ada dan hilang.

Guide book dan kopi Wae Rebo.
Penginapan berada di rumah adat Mbaru Niang di sisi kiri yang paling ujung, diisi sekitar 30 orang, disediakan juga selimut tebal dan bantal. Membawa pakaian hangat akan sangat membantu. Kamar mandi tidak seperti yang kalian bayangkan, mandi bersama di sungai atau sejenisnya. Kamar mandi sudah disediakan khusus untuk para wisatawan yang ingin menginap, dengan kondisi yang cukup bersih dan air yang sangat dingin. Setiap tamu yang datang akan disuguhi oleh kopi khas Wae Rebo yang menjadi komoditas utama warga sekitar.


Tidak ada sinyal yang bisa menjangkau sampai ke desa ini, begitu pula listrik, hanya bisa menggunakan genset di malam hari sampai dengan pukul 10 malam, selain itu lampu menyala menggunakan solar sel.


Justru dengan berkumpulnya 30 orang wisatawan dalam satu atap yang sama ini dan juga ketidakadaan sinyal menjadikan kami saling berinteraksi satu dengan lainnya, bercerita mengenai perjalanan masing-masing dan bersenda gurau, suasana yang sangat nyaman. 








Desa ini sangat instagramable jika bisa mendapatkan titik foto yang bisa meng-capture keseluruhan rumah Mbaru Niang. Untuk mendapatkan spot foto yang bagus diperlukan menaiki bukit depan desa sekitar 20-30 meter agar view yang didapat lebih luas. Jika beruntung dan tidak mendung ataupun berkabut dapat menikmati indahnya sun rise dari balik bukit belakang desa.

 Setiap pagi biasanya warga desa mengolah kopi, termasuk menumbuk biji kopi di halaman depan rumah masing-masing. Para muda mudi desa ini banyak yang bersekolah di kota terdekat, dan hanya pulang saat weekend saja menjadikan desa ini lebih sepi karena hanya ada orang tua dan juga anak-anak.

Sangat disarankan untuk berangkat sendiri menggunakan sepeda motor karena akan sangat menghemat biaya. Total biaya yang dikeluarkan adalah 350.000 untuk retribusi desa, 75.000 x 2 hari untuk sewa sepeda motor, 75.000 untuk bensin, dan siapkan beberapa untuk makan saat perjalanan. Dan juga kalian bisa menikmati indahnya bukit-bukit dan juga pantai di sepanjang perjalanan.

Untuk info lebih lanjut mengenai perjalanan ini bisa hubungi WA di +6281410204522 dan Instagram di @Khafid_nrd




Tidak ada komentar:

Posting Komentar