Minggu, 14 Juni 2020

KONSEP HARGA DALAM PANDANGAN ISLAM - EKONOMI SYARIAH




KONSEP HARGA DALAM PANDANGAN ISLAM

MAKALAH

EKONOMI SYARIAH








Oleh:
Bella Khafid Nuruddin
1706058911





Harga adalah nilai suatu barang atau jasa yang diukur dengan jumlah uang yang dikeluarkan oleh pembeli untuk mendapatkan sejumlah kombinasi barang atau jasa berikut pelayanannya.[1]
Menurut Sayyid Sabiq harga adalah apa yang sama-sama disetujui oleh kedua belah pihak yang berinteraksi baik itu harga lebih besar, lebih kecil atau sama.[2]
Harga adalah unsur penting dalam menentukan pendapatan perusahaan, arena pendapatan perusahaan atau total revenue (TR) adalah hasil kali dari harga (p) dengan kuantitas (q) yang terjual, tinggi rendahnya harga akan mempengaruhi jumlah barang yang terjual, demikian pentingnya membuat kebijakan harga.[3]
Menurut Hendry Faizal Noor harga adalah biaya tambahan, margin atau mark-up biaya (cost plus pricing). Sedangnkan harga jual adalah jumlah dari biaya-biaya ditambah keuntungan. Penetapan harga jual didasarkan pada besarnya biaya yang dikeluarkan ditambah keuntungan yang dikehendaki produsen.[4]
Harga dapat menjadi sebuah kriteria bagi konsumen ketika mereka mengalami kesulitan dalam menilai sebuah mutu dari sebuah produk yang banyak ditawarkan oleh pasar demi memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Ketika konsumen menginginkan barang dengan kualitas dan mutu yang baik maka konsumen dapat memilih barang dengan harga yang diatas rata-rata. Sebaliknya, ketika konsumen menginginkan barang dengan kualitas yang standard atau pun dibawahnya, maka mereka dapat mengambil barang dengan harga rata-rata pasar atau pun yang lebih murah.
Banyak yang beranggapan bahwa harga merupakan sebuah kunci dari sebuah sistem perdagangan. Harga pasar dari sebuah produk mempengaruhi upah, sewa, bunga dan laba. Artinya, harga sebuah produk mempengaruhi biaya faktor-faktor produksi seperti: tenaga kerja, tanah, modal dan kewirausahaan. Jadi harga adalah alat pengukur dasar sebuah sistem ekonomi karena harga mempengaruhi alokasi faktor-faktor produksi.
Harga dari suatu produk atau jasa sangat menentukan jumlah permintaan pasar, apalagi jika elastisitas dari barang tersebut bersifat elastis. Ketika harga suatu produk atau jasa cocok dengan kapabilitas konsumen, maka permintaan akan naik, yang mana menyebabkan laba dari perusahaan itu meningkat dan memungkinkan untuk harga saham dari perusahaan tersebut mengalami kenaikan. Maka tidak mengherankan jika harga mempunyai pengaruh yang besar terhadap keuangan dan keberlanjutan perusahaan.
Fandy tjiptono mengatakan bahwa agar dapat sukses dalam memasarkan suatu barang atau jasa, setiap perusahaan harus menentukan harga secara tepat. Harga merupakan satu-satunya unsur bauran pemasaran yang memberikan pemasukan atau pendapatan bagi perusahaan, sedangkan ketiga unsur lainnya (produk, distribusi, dan promosi) menyebabkan timbulnya biaya (pengeluaran). Disamping itu harga merupakan unsur bauran pemasaran yang bersifat fleksibel, artinya dapat diubah dengan cepat. Berbeda halnya dengan karakteristik produk atau komitmen terhadap saluran distribusi. Kedua hal terakhir tidak dapat diubah/disesuaikan dengan mudah dan cepat, karena biasanya menyangkut keputusan jangka Panjang.[5]
Harga memiliki dua peranan utama dalam proses pengambilan keputusan para pembeli, yaitu peranan alokasi dan peranan informasi.
a.       Peranan alokasi dari harga, yaitu fungsi harga dalam membantu para pembeli untuk memutuskan cara memperoleh manfaat atau utilitas tertinggi yang diharapkan berdasarkan daya belinya. Dengan demikian, adanya harga dapat membantu para pembeli untuk memutuskan cara mengalokasikan daya belinya pada berbagai jenis barang dan jasa. Pembeli membandingkan harga dari berbagai alternatif yang tersedia, kemudian memutuskan alokasi dana yang dikehendaki.
b.      Peranan informasi dari harga, yaitu fungsi harga dalam mendidik konsumen mengenai faktor-faktor produk, seperti kualitas. Hal ini terutama bermanfaat dalam situasi dimana pembeli mengalami kesulitan untuk menilai faktor produk atau manfaat secara objektif. Persepsi yang sering berlaku adalah bahwa harga yang mahal mencerminkan kualitas yang tinggi.[6]


Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ketentuan penetapan harga tidak dijumpai di dalam al-Quran. Adapun dijumpai beberapa riwayat yang menurut logikanya dapat diketahui bahwa penetapan harga itu diperbolehkan dengan kondisi tertentu, di dalam hadits Rasullullah SAW. Faktor dominan yang menjadi landasan hukum at-tas’ir al-jabbari, menurut kesepakatan para ulama fiqh adalah al-maslahah al-mursalah (kemaslahatan).[7]
Dari Anas bin Malik, ia berkata: orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, harga telah naik, maka tetapkanlah harga untuk kami.” Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah yang menetapkan harga, yang mempersempit, dan yang memperluas, dan aku berharap betemu dengan Allah sedangkan salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezhaliman dalam darah atau harta.” (HR. Abu Dawud).[8]
Ulama fiqh menyatakan bahwa kenaikan harga yang terjadi di zaman Rasulullah SAW tersebut bukanlah karena tindakan sewenang-wenang dari para pedagang, tetapi karena memang komoditas yang ada terbatas. Sesuai dengan hukum ekonomi apabila stok terbatas, maka wajar  barang tersebut mengalami kenaikan. Oleh sebab itu, dalam keadaan demikian Rasulullah SAW tidak mau campur tangan membatasi harga komoditas tersebut.[9]
Asy-Syaukuni menyatakan, bahwa hadits diatas dijadikan dalil bagi pengharaman pematokan harga dan bahwa ia (pematok harga) merupakan suatu kedzaliman (yaitu penguasa memerintahkan para penghuni pasar agar tidak menjual barang-barang mereka kecuali dengan harga yang sekian, kemudian melarang mereka untuk menambah ataupun mengurangi harga tersebut. Alasannya bahwa manusia dikuasakan atas mereka, sedangkan pematok harga adalah pemaksaan terhadap mereka. Padahal seorang imam diperintahkan untuk memelihara kemaslahatan umat.

a.      Tujuan berorientasi pada laba
Setiap perusahaan selalu memilih harga yang dapat menghasilkan laba yang paling tinggi, sesuai dengan asumsi teori ekonomi klasik. Tujuan ini biasa dikenal dengan maksimisasi laba. Maksimisasi laba akan cenderung sulit dicapai karena dalam era persaingan global yang mana sangat banyak variable yang mempengaruhi daya saing setiap perusahaan, dan juga dikarenakan sangat sukar untuk memperkirakan secara akurat jumlah penjualan yang dapat dicapai pada tingkat tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada perusahaan yang mungkin mengetahui secara presisi tingkat harga yang dapat menghasilkan laba maksimum.
b.      Tujuan berorientasi pada volume
Tidak hanya berorientasi pada profit/laba, tetapi juga ada perusahaan yang menetapkan harga yang didasarkan pada tujuan yang berorientasi pada volume tertentu yang biasa dikenal dengan istilah volume pricing objectives. Sedemikian rupa harga diatur dan ditetapkan agar dapat mencapai target penjualan (daam ton, kg, unit, m3, dll), nilai penjualan (Rp) atau pangsa pasar (absolut maupun relative). Tujuan jenis ini banyak diterapkan oleh perusahaan penerbangan, lembaga pendidikan, perusahaan tour and travel, perusahaan bioskop dan pemilik bisnis pertunjukan lainnya, serta penyelenggara kegiatan seminar.
c.       Tujuan berorientasi pada citra
Strategi penetapan harga dapat membentuk sebuah citra dari suatu perusahaan. Untuk membentuk dan mempertahankan citra perusahaan yang prestisius, sebuah perusahaan dapat menetapkan harga yang tinggi. Sementara itu harga rendah dapat digunakan untuk membentuk citra nilai tertentu (image of value), misalnya dengan memberikan jaminan bahwa harganya merupakan harga yang terendah dari suatu wilayah tertentu. Intinya, semua ini dilakukan sebuah perusahaan untuk meningkatkan persepsi konsumen terhadap keseluruhan bauran produk yang ditawarkan perusahaan.
d.      Tujuan stabilisasi harga
Dalam sebuah pasar yang konsumennya sangat sensitive terhadap harga, bila suatu perusahaan menurunkan harganya, maka pesaingnya harus menurunkan harga mereka pula, karena jika tidak konsumen tetap dari suatu perusahaan akan berpindah ke pesaing mereka yang harganya lebih dibawah. Kondisi seperti ini yang mendasari terbentuknya tujuan stabilitas harga dalam industri-industri tertentu yang produknya sangat terstandardisasi (misalnya minyak bumi). Tujuan stabilisasi dilakukan dengan jalan menerapkan harga untuk mempertahakan hubungan yang stabil antara harga suatu perusahaan dan harga pemimpin industri (industry leader).
e.       Tujuan-tujuan lainnya
Selain tujuan diatas juga terdapat tujuan lainnya seperti mencegah masuknya pesaing, mempertahankan loyalitas pelanggan, mendukung penjualan ulang, atau menghindari campur tangan pemerintah. Organisasi non-profit juga dapat menetapkan tujuan penetapan harga yang berbeda, misalnya untuk mencapai partial cost recovery, full cost recovery, atau untuk menetapkan social price.[10].


Terdapat berbagai macam metode dalam penetapan harga. Metode yang digunakan tergantung kepada tujuan tujuan penetapan harga yang ingin dicapai. Penetapan harga biasanya dilakukan dengan menambah persentase diatas nilai atau besarnya biaya produksi bagi usaha manufaktur, diatas modal atas barang dagangan bagi usaha dagang. Sedangkan dalam usaha jasa, penetapan harga biasanya dilakukan dengan memperhitungkan biaya yang dikeluarkan dan pengorbanan tenaga dan waktu dalam memberikan layanan kepada pengguna jasa.
a.      Metode penetapan harga berbasis permintaan
Metode ini lebih menekankan faktor-faktor yang mempengaruhi selera preferensi pelanggan daripada faktor-faktor biaya, laba dan persaingan. Permintaan pelanggan sendiri didasarkan pada berbagai pertimbangan, diantaranya yaitu:
1.      Daya beli
2.      Kemauan untuk membeli
3.      Posisi suatu produk dalam gaya hidup pelanggan
4.      Manfaat yang diberikan
5.      Harga produk-produk substitusi
6.      Saingan bersifat non-harga
7.      Perilaku konsumen secara umum
8.      Segmen-segmen pasar
Adapun metode penetapan harga berbasis permintaan terdiri dari:
1.      Skimming pricing
2.      Penetration pricing
3.      Prestige pricing
4.      Price lining pricing
5.      Odd-even pricing
6.      Demand-backward pricing
7.      Bundle pricing
b.      Metode penetapan harga berbasis biaya
Dalam metode ini harga ditentukan berdasarkan biaya produksi dan pemasaran yang ditambah dengan jumlah tertentu sehingga dapat menutupi biaya-biaya langsung, overhead, dan laba. Termasuk dalam metode ini adalah:
1.      Standard markup pricing
2.      Cost plus percentage of cost pricing
3.      Cost plus fixed fee pricing
4.      experience curve pricing
c.       Metode penetapan harga berbasis laba
Dalam penetapan harganya, metode ini berusaha untuk menyeimbangkan pendapatan dan biaya dalam penetapan harga. Upaya yang dilakukan atas dasar target volume laba spesifik atau dinyatakan dalam bentuk persentase terhadap penjualan atau investasi. Termasuk dalam metode ini seperti:
1.      Target profit pricing
2.      Target sales on return pricing
3.      Target return on investment pricing
d.      Metode penetapan harga berbasis persaingan
Penetapan harga juga dapat didasarkan pada persaingan, yaitu berdasarkan apa yang dilakukan oleh pesaingnya. Metode penetapkan harga ini terdiri dari:
1.      Customary pricing
2.      Above, at, below market pricing
3.      Loss leader pricing
4.      Sealed bid pricing


1.      Ketersediaan barang (supply)
Ketersediaan barang atau jasa dalam pasar akan memudahkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga harga secara relative akan berada dalam keseimbangan. Dan hal sebaliknya, jika kelangkaan terjadi maka akan ada spekulasi dan berdampak pada kenaikan harga barang-barang di pasar.
Menurut Ibnu Kaldun: ketika barang-barang yang tersedia sedikit, harga-harga akan naik. Namun, bila jarak antar kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang akan melimpah dan harga-harga akan turun.[11]
2.      Rekayasa demand (ba’i najasi)
Rekayasa ini terjadi ketika para produsen meminta pihak lain untuk memuji produknya atau menawar dengan harga tinggi, sehingga calon pembeli yang lain tertarik untuk membeli barang dagangannya. Hal ini dilarang karena dapat menaikkan harga barang-barang yang seharusnya dibutuhkan oleh pembeli.
Rasululah saw bersabda: “Janganlah kamu sekalian melakukan penawaran terhadap barang tanpa bermaksud untuk membeli” (HR. Tirmidzi)
3.      Rekayasa supply (ba’I ikhtikar)
Rekayasa supply dilakukan dengan tujuan untuk mengambil keuntungan diatas harga normal dan melakukannya dengan cara menimbun barang agar barang tersebut tidak beredar di pasar dan kemudian menyebabkan barang tersebut naik.
Dari Ma’ar bin Abdullah bin Fadhlah, katanya, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Tidak melakukan ihtikar kecuali orang yang bersalah (berdosa)” (HR Tirmidzi)
4.      Tallaqi Al-rukban
Yang dimaksud dengan hal ini adalah ketika pengepul yang berada di desa membeli semua barang yang dihasilkan oleh petani sebelum barang itu sampai di pasar atau di kota, biasa dikenal dengan istilah monopsoni. Hal ini dilarang oleh Rasulullah dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kenaikan harga. Beliau memerintahkan agar barang-barang langsung dibawa ke pasar, sehingga penyuplai barang dan para konsumen bisa mengambil manfaat dari harga yang sesuai.
5.      Terjadi keadaan Al-Hasr (pemboikotan)
Distribusi barang hanya dipusatkan pada salah satu penjual atau pihak tertentu. Oleh karena itu perlu adanya penetapan harga untuk menghindari penjualan barang dengan harga yang ditetapkan sepihak oleh orang-orang tertentu.
6.      Terjadi koalisi dan kolusi antar penjual (kartel)
Terjadi koalisi dan kolisi antar penjual (kartel) dimana sejumlah pedagang sepakat untuk melakukan transaksi diantara mereka, dengan harga diatas ataupun dibawah harga normal.
7.      Ta’sir (penetapan harga)
Penetapan harga adalah salah satu praktik yang tidak diperbolehkan oleh syariat islam. Rasululah saw bersabda; ‘Fluktuasi harga itu adalah perbuatan Allah, sesungguhnya saya ingin berjumpa dengan-Nya, dan saya tidak melakukan kedzaliman pada seorang yang bisa dituntut dari saya’ (HR Abu Dawud).[12]
8.      Larangan ba’I ba’dh ‘ala ba’dh
Praktik yang dimaksud adalah melakukan lonjakan atau penurunan harga oleh seseorang dimana kedua belah pihak yang melakukan tawar menawar masih melakukan dealing, atau baru akan menyelesaikan penetapan harga. Rasulullah saw bersabda: “Janganlah sebagian dari kamu menjual atau penjualan sebagian yang lain” (HR Tirmidzi).[13]
9.      Larangan maks (pengambilan bea cukai/pungli)
Dengan adanya beacukai hanya akan menimbulkan melambungnya harga secara tidak adil, maka islam tidak setuju dengan adanya cara ini. Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk syurga orang yang mengambil beacukai”.[14]
10.  Penipuan (tadlis)
Jika seorang pembeli dan juga penjual memiliki informasi yang sama mengenai suatu barang yang diperjual belikan maka itu disebut pasar yang ideal. Ketika suatu pihak tidak memiliki informasi yang sama dengan yang dimiliki oleh pihak yang lainnya (assymetric information), maka salah satu pihak akan merasa dirugikan dan terjadi kecurangan atau penipuan.[15]


Ibnu Taimiyah mengakui jika keuntungan merupakan motivasi para pedagang, menurutnya pada pedagang berhak untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang benar yang dapat diterima secara umum tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para konsumen. Ia juga mendefinisikan keuntungan yang adil sebagai laba normal secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu tanpa merugikan orang lain.[16]
Ia juga tidak setuju mengenai tingkat keuntungan yang tidak lazim dan bersifat eksploitatif (ghaban fah’sy) dengan menggunakan kesempatan ketidakpedulian konsumen terhadap keadaan pasar yang terjadi (mustarsil). Ia menjelaskan, ketika seseorang memperoleh barang dan memperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan dan dikemudian hari diizinkan untuk melakukan hal itu, namun mereka tidak boleh mengenakan keuntungan yang lebih tinggi daripada harga yang sedang berlaku terhadap orang miskin dan seharusnya tidak menaikkan harga terhadap mereka yang sangat membutuhkan.
Seorang pedagang tidak boleh mengenakan harga yang lebih tinggi daripada harga normal kepada orang yang sedang tidak sadar. Dan juga ketika seorang konsumen sangat membutuhkan suatu barang yang menjadikan permintaan konsumen terhadap barang itu menjadi inelastis, seorang pedagang harus tetap mengenakan keuntungan yang sama dengan keuntungan yang diperoleh dari orang lain yang sifat permintaannya elastis.
Jika suatu keuntungan individu dilindungi atau mendatangkan kerugian dan penderitaan kepada beberapa orang lainnya atau masyarakat secara keseluruhan, maka islam telah menetapkan semua perdagangan itu sebagai hal yang haram.
Penyuapan, pencurian, perjudian, spekulasi, penumpukan dan penahanan bahan-bahan kebutuhan pokok dengan menaikkan harga dan memonopoli cara-cara produksi oleh suatu atau beberapa orang yang membatasi orang lain adalah hal yang diharamkan.
Al-Ghazali bersikap sangat kritis terhadap laba yang berlebihan, menurutnya jika seorang pembeli menawarkan harga yang lebih tinggi dari pada harga yang berlaku, penjual harus menolaknya karena laba akan menjadi berlebih walaupun hal itu bukanlah suatu hal yang haram jika tidak ada unsur penipuan didalamnya.[17]


Konsep harga menurut Ibnu Taimiyah, harga yang adil pada hakikatnya telah ada sejak kehadiran islam, di dalam Al-quran pun juga menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajar ketika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar khususnya harga.
Konsep harga dalam kasus penjualan barang-barang cacat telah digunakan dalam penyusunan berbagai aturan transaksi bisnis oleh para Fuqaha. Mereka berpikir bahwa harga yang adil adalah harga yang dibayar untuk objek serupa, oleh karena itu mereka mengenalnya dengan harga setara. Ibnu Taimiyah merupakan orang pertama kali menaruh perhatian terhadap permasalahan harga adil.
“Jika penduduk menjual barang secara normal (al-wajh al-ma’ruh) tanpa menggunakan cara-cara tidak adil, kemudian harga tersebut meningkat karena pengaruh kelangkaan barang karena penurunan supply, atau karena peningkatan jumlah pendududuk (peningkatan demand) karena peningkatan harga-harga tersebut atas kehendak Allah.”[18]
Diatas disebutkan “dengan jalan yang normal tanpa menggunakan cara-cara tidak adil”, yang memiliki makna bahwa harga yang setara itu merupakan harga yang kompetitif dan tidak disertai penipuan, karena harga yang wajar terjadi pada pasar kompetitif dan hanya praktik yang penuh dengan penipuan yang menyebabkan kenaikan harga.
 Abu Yusuf termasuk ulama yang paling awal yang mulai menyinggung mengenai mekanisme pasar, seperti memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam katannya dengan perubahan harga. Dengan kata lain pemahaman pada masa Abu Yusuf tentang hubungan harga dengan kuantitas hanya memperhatikan kurva demand, fenomena ini yang kemudian dikritisi Abu Yusuf dalam literatur kontemporer, fenomena yang berlaku pada masa Abu Yusuf dapat dijelaskan dalam teori permintaan. Formulasi dalam teori permintaan menunjukkan bahwa pengaruh harga terhadap jumlah permintaan suatu komoditi negatif.
Abu Yusuf mengatakan “Tidak ada batasan tertentu tentang murah atau mahal yang dapat dipastikan, hal tersebut ada yang mengaturnya, prinsipnya tidak bisa diketahui, murah bukan karena melimpah dan begitu pula mahal bukan karena kelangkaan.”[19]


Islam sangat menjunjung tinggi keadilan (al-adl/justice), termasuk juga didalamnya mengenai penentuan harga. Terdapat beberapa terminologi dalam bahasa arab yang maknanya menuju kepada harga yang adil. Antara lain adalah si’r al-mitsl, tsaman al mitsl dan qimah al-‘adl. Istilah qimah al-‘adl (harga yang adil) pernah digunakan oleh Rasulullah saw dalam mengomentari kompensasi bagian untuk pembebasan budak, dimana budak ini akan menjadi manusia merdeka dan majikannya tetap memperoleh kompensasi dengan harga yang adil (shahih muslim).
Penggunaan istilah ini juga ditemukan dalam laporan tentang Khalifah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Umar menggunakan istilah harga yang adil ini ketika menetapkan nilai baru atas diyat (denda), setelah nilai dirham turun sehingga harga-harga naik.
Adanya suatu harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalam transaksi yang islami. Secara umum harga yang adil ini adalah harga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lainnya.
Islam menghargai hak penjual dan pembeli untuk menentukan harga sekaligus melindungi hak keduanya. Dalam islam diperbolehkan untuk melakukan intervensi harga bagi pemerintah, bila kenaikan harga disebabkan oleh distorsi terhadap permintaan dan penawaran. Intervensi harga yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain:
1.      Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat untuk melindungi penjual dalam hal profit margin sekaligus melindungi pembeli dalam hal purchasing power.
2.      Jika tidak dilakukan intervensi harga maka penjual dapat menaikkan harga dengan cara ikhtikar yang mana dapat mendzalimi konsumen.
3.      Konsumen biasanya mewakili masyarakat yang lebih luas, sedangkan produsen atau penjual mewakili masyarakat yang lebih sempit, sehingga intervensi harga berarti pula melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas.[20]
Keadilan merupakan nilai paling mendasar dalam ekonomi islam. Seluruh ulama terkemuka sepanjang sejarah islam menempatkan keadilan sebagai unsur paling utama dalam maqashid Syariah. Sayyid Qutb menyebutkan keadilan sebagai unsur pokok komprehensif dan terpenting dalam aspek kehidupan. [21]
Menurut Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), berdasarkan makna adil yang ada dalam al-quran, maka bisa disimpulkan nilai turunan yang berasal darinya sebagaimana berikut:[22]
a.       Persamaan kompensasi
Persamaan kompensasi merupakan pengertian adil yang paling umum, yaitu bahwa seseorang harus memberikan kompensasi yang sepadan kepada pihak lain sesuai dengan pengorbanan yang telah dilakukannya. Pengorbanan yang telah dilakukan ini yang menyebabkan seorang memperoleh hak untuk mendapatkan balasan yang seimbang atas pengorbanannya.
b.      Persamaan hukum
Yang dimaksudkan dalam persamaan hukum adalah setiap orang harus diperlakukan sama di muka hukum. Tidak ada diskriminasi terhadap siapapun di hadapan hukum atas dasar apapun. Dalam konteks ekonomi maka setiap orang harus diperlakukan sama dalam setiap aktivitas maupun transaksi ekonomi. Tidak ada alasan untuk melebihkan suatu golongan tertentu diatas golongan lainnya.
c.       Moderat
Moderat dalam hal ini dimaknai dengan posisi yang berada di tengah. Nilai adil dianggap telah diterapkan seseorang jika seseorang tersebut mampu memposisikan dirinya dalam posisi di tengah. Hal ini memberikan implikasi bahwa seseorang harus mengambil posisi ditengah dalam artian tidak mengambil keputusan yang terlalu memberikan keringanan, seperti pemberian kompensasi.
d.      Proporsional
Adil tidak selalu diartikan kesamaan hak, namun hak ini disesuaikan dengan ukuran setiap individu secara proporsional sesuai tingkat kebutuhan, kemampuan, pengorbanan, tanggung jawab ataupun kontribusi yang diberikan oleh seseorang.

Kegiatan jual-beli di dalam islam merupakan kegiatan yang melibatkan hubungan antara manusia (penjual) dengan manusia lain (pembeli) dan bercirikan ketuhanan (Qardhawi, 2000). Sementara dalam pandangan Al-Maududi (2005), perbedaan antara bisnis atau sistem ekonomi islam dengan paham kapitalis dan sosialis terdapat pada letak norma yang melingkupinya, yaitu kejujuran, keadilan, persaudaraan, dan altruism.
Dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia, maka setidaknya seorang penjual harus berlaku jujur (shiddiq) kepada pembeli sehingga tidak terjadi penipuan didalam bertransaksi (Afzalurrahman, 2000). Sedangkan menurut (Hartropp, 2010), kejujuran tidaklah cukup tanpa disertai keadilan di dalam memperlakukan pelanggan dan lingkungan dimana perusahaan beroperasi. Keadilan akan mengurangi kesenjangan pemenuhan kebutuhan antar setiap pelanggan (Kolm, 1995).
Di sisi lain, masih banyak umat manusia yang keadaan ekonominya tergolong kurang mampu sehingga membutuhkan perhatian lebih dari sesamanya agar dapat terus bertahan hidup. Sebagai sesama makhluk ciptaan Allah, seorang penjual juga harus memiliki sifat kemanunggalan (ukhuwwah) dengan saling tolong-menolong dilandasi rasa kasih sayang untuk membantu sesamanya yang tidak mampu (Shihab, 1997).
Bahkan menurut Al-Maududi, meskipun setiap orang mempunyai hak untuk memiliki kekayaan, tetapi kepentingan kehidupan umat manusia pada umumnya adalah yang tertinggi karena mereka mempunyai hak untuk hidup dan hak kepemilikannya.
Oleh karena itu dalam system ekonomi islam bercirikan ketuhanan, maka setiap aktivitas pelaku bisnis merupakan bentuk pengabdian kepada sang Penciptanya. Dengan demikian, setiap pelaku bisnis memposisikan dirinya sebagai hamba yang siap bekerja optimal untuk memenuhi tugas Penciptanya. Oleh karena itu, seorang pengusaha semestinya memahami nilai kehambaan (tauhid) di dalam pengabdiannya. (Qardhawi, 2000).
Adapun nilai-nilai amanah, ikhlas, ihsan, mashlahah, istikhlaf, dan qanaah menjadi pendukung keempat nilai tersebut dalam merumuskan konsep harga jual. Nilai-nilai tersebut sebagai penunjang nilai kehambaan didalam mengabdi kepada sang Pencipta.


Kesimpulan


Merujuk pada penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa berbagai macam metode penetapan harga tidak dilarang oleh Islam dengan ketentuan sebagai berikut; harga yang ditetapkan oleh pihak pengusaha /pedagang tidak menzalimi pihak pembeli, yaitu tidak dengan mengambil keuntungan diatas normal atau tingkat kewajaran. Tidak ada penetapan harga yang sifatnya memaksa untuk para penjual selama mereka mengambil keuntungan yang sewajarnya dan juga tidak merugikan orang lain. Harga disepakati oleh kedua belah pihak baik dari pembeli maupun penjual. Harga merupakan titik keseimbangan antara kekuatan permintaan dan juga penawaran pasar yang telah disepakati secara suka rela. Apabila sebuah keseimbangan telah terganggu maka pemerintah atau pihak yang berwenang dalam hal ini dapat melakukan intervensi terhadap pasar dengan menjunjung tinggi asas-asas keadilan baik terhadap pihak pedagang atau pengusaha maupun terhadap pihak konsumen.


Referensi


Alimuddin. 2011. Konsep Harga Jual Maslahah Berbasis Nilai-nilai Islam. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/22171/4Konsep%20harga%20jual%20Islam.pdf?sequence=1 (diakses pada tanggal 27 Maret 2020).
Kamalia. 2011. Mekanisme Penetapan Harga Dalam Pandangan Ekonomi Islam. http://repository.uin-suska.ac.id/2085/1/2011_2011283.pdf (diakses pada tanggal 27 Maret 2020).
Parakkasi, Idris. 2018. Analisis Harga dan Mekanisme Pasar Dalam Perspektif Islam. http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/lamaisyir/article/download/4982/4428 (diakses pada tanggal 27 Maret 2020).
Hilal, Syamsul. 2014. Konsep Harga Dalam Ekonomi Islam. https://media.neliti.com/media/publications/177467-ID-konsep-harga-dalam-ekonomi-islam-telah-p.pdf (diakses pada tanggal 27 Maret 2020).
Digital Library UIN Surabaya. Penetapan Harga Dalam Islam. http://digilib.uinsby.ac.id/18443/5/Bab%202.pdf (diakses pada tanggal 27 Maret 2020).
Repository UIN Raden Intan. Konsep Harga Menurut Ekonomi Islam. http://repository.radenintan.ac.id/1166/3/BAB_II_REVISI_MUNA.pdf (diakses pada tanggal 27 Maret 2020).
Nuryadin, Muhammad Birusman. Harga Dalam Perspektif Islam. https://basecampumj.files.wordpress.com/2010/11/cost.pdf (diakses pada tanggal 27 Maret 2020).


[1] Tim. Reality, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia Dilengkapi Ejaan Yang Benar (Jakarta:PT. Reality Publisher 2008)
[2] Abu Malik Kamal Bin Assayid Salim, Sahih Figh Assunah wa adhilatuhu wa tauhid mazdzhib Al- Imnah Terj. Sahih Fiqih Sunnah Khairul Amru Harahap (Jakarta: Pustaka Azzam 2007) Cet. Ke-1 h.471
[3] Thomas J, Pemasaran dan pasar, (Jakarta: Gema insani press, 2001) Cet. Ke-1 h.34
[4] Henry Faizal Noor, Ekonomi Menejerial (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2007) Cet. Ke-1 h. 303.
[5] Fandy Tjiptono. Strategi Pemasaran (Yogyakarta: Penerbit Andi, 1997), h. 151
[6] Fandy Tjiptono, loc. cit. h. 152
[7] Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual (Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer) h. 91
[8] Muhammad Yusuf Qardhawi, Halam & Haram dalam Islam h. 354
[9] Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual (Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer) h. 92
[10] Fandy Tjiptono. Strategi Pemasaran (Yogyakarta: Penerbit Andi, 1997), h. 152-153
[11] Ibnu Khaldun. The Muqaddimah, English Edition Transl. Franz Rosenthal (London: Rontledge & Kegan Paul, 1967), h. 338.
[12] Abu Daud, Sunan Abu Daud, No Hadits 3450, jilid III, Dar al-Hadits Syuriah,tt.
[13] At-Tirmizy, Al-Jami Shahih Sunan At-Tirmizy, No Hadits 1310, Juz III, Dar al-Fikri Beirut, h 37
[14] Hadits ini dikutip oleh S.M.Yusuf, op.cit., h 47 dan Mustaq Ahmad, op.cit, h 148
[15] Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islami, h. 15
[16] Adiwarman Karim, Op. cit h. 142
[17] Ibid Jilid-4 h.79
[18] Muchlis Sabir, Riyadlus Shalihin, (Semarang, CV. Toha Putra: 1981), cet, 1 h. 16
[19] mam Asy- Syaukani, Log.cit, h. 104
[20] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar (Yogyakarta: Ekonomisia,2002), h. 203
[21] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam (Jakarta:Rajawali Press,2009),h.59
[22] Ibid, h. 60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar