KONSEP
HARGA DALAM PANDANGAN ISLAM
MAKALAH
EKONOMI
SYARIAH
Oleh:
Bella
Khafid Nuruddin
1706058911
Harga
adalah nilai suatu barang atau jasa yang diukur dengan jumlah uang yang
dikeluarkan oleh pembeli untuk mendapatkan sejumlah kombinasi barang atau jasa
berikut pelayanannya.[1]
Menurut
Sayyid Sabiq harga adalah apa yang sama-sama disetujui oleh kedua belah pihak
yang berinteraksi baik itu harga lebih besar, lebih kecil atau sama.[2]
Harga
adalah unsur penting dalam menentukan pendapatan perusahaan, arena pendapatan
perusahaan atau total revenue (TR) adalah hasil kali dari harga (p) dengan
kuantitas (q) yang terjual, tinggi rendahnya harga akan mempengaruhi jumlah
barang yang terjual, demikian pentingnya membuat kebijakan harga.[3]
Menurut
Hendry Faizal Noor harga adalah biaya tambahan, margin atau mark-up biaya (cost
plus pricing). Sedangnkan harga jual adalah jumlah dari biaya-biaya ditambah
keuntungan. Penetapan harga jual didasarkan pada besarnya biaya yang
dikeluarkan ditambah keuntungan yang dikehendaki produsen.[4]
Harga
dapat menjadi sebuah kriteria bagi konsumen ketika mereka mengalami kesulitan
dalam menilai sebuah mutu dari sebuah produk yang banyak ditawarkan oleh pasar
demi memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Ketika konsumen menginginkan
barang dengan kualitas dan mutu yang baik maka konsumen dapat memilih barang
dengan harga yang diatas rata-rata. Sebaliknya, ketika konsumen menginginkan barang
dengan kualitas yang standard atau pun dibawahnya, maka mereka dapat mengambil
barang dengan harga rata-rata pasar atau pun yang lebih murah.
Banyak
yang beranggapan bahwa harga merupakan sebuah kunci dari sebuah sistem
perdagangan. Harga pasar dari sebuah produk mempengaruhi upah, sewa, bunga dan
laba. Artinya, harga sebuah produk mempengaruhi biaya faktor-faktor produksi
seperti: tenaga kerja, tanah, modal dan kewirausahaan. Jadi harga adalah alat
pengukur dasar sebuah sistem ekonomi karena harga mempengaruhi alokasi
faktor-faktor produksi.
Harga
dari suatu produk atau jasa sangat menentukan jumlah permintaan pasar, apalagi
jika elastisitas dari barang tersebut bersifat elastis. Ketika harga suatu
produk atau jasa cocok dengan kapabilitas konsumen, maka permintaan akan naik,
yang mana menyebabkan laba dari perusahaan itu meningkat dan memungkinkan untuk
harga saham dari perusahaan tersebut mengalami kenaikan. Maka tidak
mengherankan jika harga mempunyai pengaruh yang besar terhadap keuangan dan keberlanjutan
perusahaan.
Fandy
tjiptono mengatakan bahwa agar dapat sukses dalam memasarkan suatu barang atau
jasa, setiap perusahaan harus menentukan harga secara tepat. Harga merupakan
satu-satunya unsur bauran pemasaran yang memberikan pemasukan atau pendapatan
bagi perusahaan, sedangkan ketiga unsur lainnya (produk, distribusi, dan
promosi) menyebabkan timbulnya biaya (pengeluaran). Disamping itu harga
merupakan unsur bauran pemasaran yang bersifat fleksibel, artinya dapat diubah
dengan cepat. Berbeda halnya dengan karakteristik produk atau komitmen terhadap
saluran distribusi. Kedua hal terakhir tidak dapat diubah/disesuaikan dengan
mudah dan cepat, karena biasanya menyangkut keputusan jangka Panjang.[5]
Harga
memiliki dua peranan utama dalam proses pengambilan keputusan para pembeli,
yaitu peranan alokasi dan peranan informasi.
a. Peranan alokasi dari harga, yaitu
fungsi harga dalam membantu para pembeli untuk memutuskan cara memperoleh
manfaat atau utilitas tertinggi yang diharapkan berdasarkan daya belinya. Dengan
demikian, adanya harga dapat membantu para pembeli untuk memutuskan cara
mengalokasikan daya belinya pada berbagai jenis barang dan jasa. Pembeli
membandingkan harga dari berbagai alternatif yang tersedia, kemudian memutuskan
alokasi dana yang dikehendaki.
b. Peranan informasi dari harga,
yaitu fungsi harga dalam mendidik konsumen mengenai faktor-faktor produk,
seperti kualitas. Hal ini terutama bermanfaat dalam situasi dimana pembeli
mengalami kesulitan untuk menilai faktor produk atau manfaat secara objektif.
Persepsi yang sering berlaku adalah bahwa harga yang mahal mencerminkan
kualitas yang tinggi.[6]
Ulama
fiqh sepakat menyatakan bahwa ketentuan penetapan harga tidak dijumpai di dalam
al-Quran. Adapun dijumpai beberapa riwayat yang menurut logikanya dapat
diketahui bahwa penetapan harga itu diperbolehkan dengan kondisi tertentu, di dalam
hadits Rasullullah SAW. Faktor dominan yang menjadi landasan hukum at-tas’ir
al-jabbari, menurut kesepakatan para ulama fiqh adalah al-maslahah
al-mursalah (kemaslahatan).[7]
Dari
Anas bin Malik, ia berkata: orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, harga telah
naik, maka tetapkanlah harga untuk kami.” Lalu Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah yang menetapkan harga, yang mempersempit, dan yang
memperluas, dan aku berharap betemu dengan Allah sedangkan salah seorang dari
kalian tidak menuntutku karena kezhaliman dalam darah atau harta.” (HR. Abu
Dawud).[8]
Ulama
fiqh menyatakan bahwa kenaikan harga yang terjadi di zaman Rasulullah SAW
tersebut bukanlah karena tindakan sewenang-wenang dari para pedagang, tetapi
karena memang komoditas yang ada terbatas. Sesuai dengan hukum ekonomi apabila
stok terbatas, maka wajar barang
tersebut mengalami kenaikan. Oleh sebab itu, dalam keadaan demikian Rasulullah
SAW tidak mau campur tangan membatasi harga komoditas tersebut.[9]
Asy-Syaukuni
menyatakan, bahwa hadits diatas dijadikan dalil bagi pengharaman pematokan
harga dan bahwa ia (pematok harga) merupakan suatu kedzaliman (yaitu penguasa
memerintahkan para penghuni pasar agar tidak menjual barang-barang mereka
kecuali dengan harga yang sekian, kemudian melarang mereka untuk menambah
ataupun mengurangi harga tersebut. Alasannya bahwa manusia dikuasakan atas
mereka, sedangkan pematok harga adalah pemaksaan terhadap mereka. Padahal
seorang imam diperintahkan untuk memelihara kemaslahatan umat.
a. Tujuan berorientasi pada laba
Setiap perusahaan selalu memilih
harga yang dapat menghasilkan laba yang paling tinggi, sesuai dengan asumsi
teori ekonomi klasik. Tujuan ini biasa dikenal dengan maksimisasi laba.
Maksimisasi laba akan cenderung sulit dicapai karena dalam era persaingan
global yang mana sangat banyak variable yang mempengaruhi daya saing setiap
perusahaan, dan juga dikarenakan sangat sukar untuk memperkirakan secara akurat
jumlah penjualan yang dapat dicapai pada tingkat tertentu. Jadi dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perusahaan yang mungkin mengetahui secara presisi
tingkat harga yang dapat menghasilkan laba maksimum.
b. Tujuan berorientasi pada volume
Tidak hanya berorientasi pada
profit/laba, tetapi juga ada perusahaan yang menetapkan harga yang didasarkan
pada tujuan yang berorientasi pada volume tertentu yang biasa dikenal dengan
istilah volume pricing objectives. Sedemikian rupa harga diatur dan
ditetapkan agar dapat mencapai target penjualan (daam ton, kg, unit, m3,
dll), nilai penjualan (Rp) atau pangsa pasar (absolut maupun relative). Tujuan
jenis ini banyak diterapkan oleh perusahaan penerbangan, lembaga pendidikan,
perusahaan tour and travel, perusahaan bioskop dan pemilik bisnis pertunjukan
lainnya, serta penyelenggara kegiatan seminar.
c. Tujuan berorientasi pada citra
Strategi penetapan harga dapat
membentuk sebuah citra dari suatu perusahaan. Untuk membentuk dan
mempertahankan citra perusahaan yang prestisius, sebuah perusahaan dapat
menetapkan harga yang tinggi. Sementara itu harga rendah dapat digunakan untuk
membentuk citra nilai tertentu (image of value), misalnya dengan
memberikan jaminan bahwa harganya merupakan harga yang terendah dari suatu
wilayah tertentu. Intinya, semua ini dilakukan sebuah perusahaan untuk
meningkatkan persepsi konsumen terhadap keseluruhan bauran produk yang
ditawarkan perusahaan.
d. Tujuan stabilisasi harga
Dalam sebuah pasar yang
konsumennya sangat sensitive terhadap harga, bila suatu perusahaan menurunkan
harganya, maka pesaingnya harus menurunkan harga mereka pula, karena jika tidak
konsumen tetap dari suatu perusahaan akan berpindah ke pesaing mereka yang
harganya lebih dibawah. Kondisi seperti ini yang mendasari terbentuknya tujuan
stabilitas harga dalam industri-industri tertentu yang produknya sangat
terstandardisasi (misalnya minyak bumi). Tujuan stabilisasi dilakukan dengan
jalan menerapkan harga untuk mempertahakan hubungan yang stabil antara harga
suatu perusahaan dan harga pemimpin industri (industry leader).
e. Tujuan-tujuan lainnya
Selain tujuan diatas juga
terdapat tujuan lainnya seperti mencegah masuknya pesaing, mempertahankan
loyalitas pelanggan, mendukung penjualan ulang, atau menghindari campur tangan
pemerintah. Organisasi non-profit juga dapat menetapkan tujuan penetapan harga
yang berbeda, misalnya untuk mencapai partial cost recovery, full cost
recovery, atau untuk menetapkan social price.[10].
Terdapat berbagai macam metode
dalam penetapan harga. Metode yang digunakan tergantung kepada tujuan tujuan
penetapan harga yang ingin dicapai. Penetapan harga biasanya dilakukan dengan
menambah persentase diatas nilai atau besarnya biaya produksi bagi usaha
manufaktur, diatas modal atas barang dagangan bagi usaha dagang. Sedangkan
dalam usaha jasa, penetapan harga biasanya dilakukan dengan memperhitungkan
biaya yang dikeluarkan dan pengorbanan tenaga dan waktu dalam memberikan
layanan kepada pengguna jasa.
a. Metode penetapan harga berbasis
permintaan
Metode ini lebih menekankan
faktor-faktor yang mempengaruhi selera preferensi pelanggan daripada
faktor-faktor biaya, laba dan persaingan. Permintaan pelanggan sendiri
didasarkan pada berbagai pertimbangan, diantaranya yaitu:
1. Daya beli
2. Kemauan untuk membeli
3. Posisi suatu produk dalam gaya
hidup pelanggan
4. Manfaat yang diberikan
5. Harga produk-produk substitusi
6. Saingan bersifat non-harga
7. Perilaku konsumen secara umum
8. Segmen-segmen pasar
Adapun
metode penetapan harga berbasis permintaan terdiri dari:
1. Skimming pricing
2. Penetration pricing
3. Prestige pricing
4. Price lining pricing
5. Odd-even pricing
6. Demand-backward pricing
7. Bundle pricing
b. Metode penetapan harga berbasis
biaya
Dalam metode ini harga ditentukan
berdasarkan biaya produksi dan pemasaran yang ditambah dengan jumlah tertentu
sehingga dapat menutupi biaya-biaya langsung, overhead, dan laba. Termasuk
dalam metode ini adalah:
1. Standard markup pricing
2. Cost plus percentage of cost
pricing
3. Cost plus fixed fee pricing
4. experience curve pricing
c. Metode penetapan harga berbasis
laba
Dalam penetapan harganya, metode
ini berusaha untuk menyeimbangkan pendapatan dan biaya dalam penetapan harga.
Upaya yang dilakukan atas dasar target volume laba spesifik atau dinyatakan
dalam bentuk persentase terhadap penjualan atau investasi. Termasuk dalam
metode ini seperti:
1. Target profit pricing
2. Target sales on return pricing
3. Target return on investment
pricing
d. Metode penetapan harga berbasis
persaingan
Penetapan harga juga dapat
didasarkan pada persaingan, yaitu berdasarkan apa yang dilakukan oleh
pesaingnya. Metode penetapkan harga ini terdiri dari:
1. Customary pricing
2. Above, at, below market pricing
3. Loss leader pricing
4. Sealed bid pricing
1.
Ketersediaan barang (supply)
Ketersediaan barang atau jasa
dalam pasar akan memudahkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga
harga secara relative akan berada dalam keseimbangan. Dan hal sebaliknya, jika
kelangkaan terjadi maka akan ada spekulasi dan berdampak pada kenaikan harga
barang-barang di pasar.
Menurut Ibnu Kaldun: ketika
barang-barang yang tersedia sedikit, harga-harga akan naik. Namun, bila jarak
antar kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, akan banyak barang yang
diimpor sehingga ketersediaan barang akan melimpah dan harga-harga akan turun.[11]
2. Rekayasa
demand (ba’i najasi)
Rekayasa
ini terjadi ketika para produsen meminta pihak lain untuk memuji produknya atau
menawar dengan harga tinggi, sehingga calon pembeli yang lain tertarik untuk
membeli barang dagangannya. Hal ini dilarang karena dapat menaikkan harga
barang-barang yang seharusnya dibutuhkan oleh pembeli.
Rasululah
saw bersabda: “Janganlah kamu sekalian melakukan penawaran terhadap barang
tanpa bermaksud untuk membeli” (HR. Tirmidzi)
3.
Rekayasa supply (ba’I ikhtikar)
Rekayasa supply dilakukan dengan
tujuan untuk mengambil keuntungan diatas harga normal dan melakukannya dengan
cara menimbun barang agar barang tersebut tidak beredar di pasar dan kemudian
menyebabkan barang tersebut naik.
Dari Ma’ar bin Abdullah bin
Fadhlah, katanya, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Tidak melakukan
ihtikar kecuali orang yang bersalah (berdosa)” (HR Tirmidzi)
4.
Tallaqi Al-rukban
Yang dimaksud dengan hal ini
adalah ketika pengepul yang berada di desa membeli semua barang yang dihasilkan
oleh petani sebelum barang itu sampai di pasar atau di kota, biasa dikenal
dengan istilah monopsoni. Hal ini dilarang oleh Rasulullah dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya kenaikan harga. Beliau memerintahkan agar barang-barang
langsung dibawa ke pasar, sehingga penyuplai barang dan para konsumen bisa
mengambil manfaat dari harga yang sesuai.
5.
Terjadi keadaan Al-Hasr (pemboikotan)
Distribusi barang hanya
dipusatkan pada salah satu penjual atau pihak tertentu. Oleh karena itu perlu
adanya penetapan harga untuk menghindari penjualan barang dengan harga yang
ditetapkan sepihak oleh orang-orang tertentu.
6.
Terjadi koalisi dan kolusi antar
penjual (kartel)
Terjadi koalisi dan kolisi antar
penjual (kartel) dimana sejumlah pedagang sepakat untuk melakukan transaksi
diantara mereka, dengan harga diatas ataupun dibawah harga normal.
7.
Ta’sir (penetapan
harga)
Penetapan harga adalah salah satu
praktik yang tidak diperbolehkan oleh syariat islam. Rasululah saw bersabda;
‘Fluktuasi harga itu adalah perbuatan Allah, sesungguhnya saya ingin berjumpa
dengan-Nya, dan saya tidak melakukan kedzaliman pada seorang yang bisa dituntut
dari saya’ (HR Abu Dawud).[12]
8.
Larangan ba’I ba’dh ‘ala ba’dh
Praktik yang dimaksud adalah
melakukan lonjakan atau penurunan harga oleh seseorang dimana kedua belah pihak
yang melakukan tawar menawar masih melakukan dealing, atau baru akan
menyelesaikan penetapan harga. Rasulullah saw bersabda: “Janganlah sebagian
dari kamu menjual atau penjualan sebagian yang lain” (HR Tirmidzi).[13]
9.
Larangan maks (pengambilan
bea cukai/pungli)
Dengan adanya beacukai hanya akan
menimbulkan melambungnya harga secara tidak adil, maka islam tidak setuju
dengan adanya cara ini. Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk syurga orang
yang mengambil beacukai”.[14]
10.
Penipuan (tadlis)
Jika seorang pembeli dan juga
penjual memiliki informasi yang sama mengenai suatu barang yang diperjual
belikan maka itu disebut pasar yang ideal. Ketika suatu pihak tidak memiliki
informasi yang sama dengan yang dimiliki oleh pihak yang lainnya (assymetric
information), maka salah satu pihak akan merasa dirugikan dan terjadi
kecurangan atau penipuan.[15]
Ibnu Taimiyah mengakui jika
keuntungan merupakan motivasi para pedagang, menurutnya pada pedagang berhak
untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang benar yang dapat diterima secara
umum tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para konsumen.
Ia juga mendefinisikan keuntungan yang adil sebagai laba normal secara umum
diperoleh dari jenis perdagangan tertentu tanpa merugikan orang lain.[16]
Ia juga tidak setuju mengenai
tingkat keuntungan yang tidak lazim dan bersifat eksploitatif (ghaban fah’sy)
dengan menggunakan kesempatan ketidakpedulian konsumen terhadap keadaan pasar
yang terjadi (mustarsil). Ia menjelaskan, ketika seseorang memperoleh
barang dan memperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan dan dikemudian hari
diizinkan untuk melakukan hal itu, namun mereka tidak boleh mengenakan
keuntungan yang lebih tinggi daripada harga yang sedang berlaku terhadap orang
miskin dan seharusnya tidak menaikkan harga terhadap mereka yang sangat
membutuhkan.
Seorang pedagang tidak boleh
mengenakan harga yang lebih tinggi daripada harga normal kepada orang yang
sedang tidak sadar. Dan juga ketika seorang konsumen sangat membutuhkan suatu
barang yang menjadikan permintaan konsumen terhadap barang itu menjadi inelastis,
seorang pedagang harus tetap mengenakan keuntungan yang sama dengan keuntungan
yang diperoleh dari orang lain yang sifat permintaannya elastis.
Jika suatu keuntungan individu
dilindungi atau mendatangkan kerugian dan penderitaan kepada beberapa orang
lainnya atau masyarakat secara keseluruhan, maka islam telah menetapkan semua
perdagangan itu sebagai hal yang haram.
Penyuapan, pencurian, perjudian,
spekulasi, penumpukan dan penahanan bahan-bahan kebutuhan pokok dengan
menaikkan harga dan memonopoli cara-cara produksi oleh suatu atau beberapa
orang yang membatasi orang lain adalah hal yang diharamkan.
Al-Ghazali bersikap sangat kritis
terhadap laba yang berlebihan, menurutnya jika seorang pembeli menawarkan harga
yang lebih tinggi dari pada harga yang berlaku, penjual harus menolaknya karena
laba akan menjadi berlebih walaupun hal itu bukanlah suatu hal yang haram jika
tidak ada unsur penipuan didalamnya.[17]
Konsep harga menurut Ibnu
Taimiyah, harga yang adil pada hakikatnya telah ada sejak kehadiran islam, di
dalam Al-quran pun juga menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat
manusia. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajar ketika keadilan juga
diwujudkan dalam aktivitas pasar khususnya harga.
Konsep harga dalam kasus
penjualan barang-barang cacat telah digunakan dalam penyusunan berbagai aturan
transaksi bisnis oleh para Fuqaha. Mereka berpikir bahwa harga yang adil adalah
harga yang dibayar untuk objek serupa, oleh karena itu mereka mengenalnya
dengan harga setara. Ibnu Taimiyah merupakan orang pertama kali menaruh
perhatian terhadap permasalahan harga adil.
“Jika penduduk menjual barang
secara normal (al-wajh al-ma’ruh) tanpa menggunakan cara-cara tidak
adil, kemudian harga tersebut meningkat karena pengaruh kelangkaan barang
karena penurunan supply, atau karena peningkatan jumlah pendududuk (peningkatan
demand) karena peningkatan harga-harga tersebut atas kehendak Allah.”[18]
Diatas disebutkan “dengan jalan
yang normal tanpa menggunakan cara-cara tidak adil”, yang memiliki makna bahwa
harga yang setara itu merupakan harga yang kompetitif dan tidak disertai
penipuan, karena harga yang wajar terjadi pada pasar kompetitif dan hanya
praktik yang penuh dengan penipuan yang menyebabkan kenaikan harga.
Abu Yusuf termasuk ulama yang paling awal yang
mulai menyinggung mengenai mekanisme pasar, seperti memperhatikan peningkatan
dan penurunan produksi dalam katannya dengan perubahan harga. Dengan kata lain
pemahaman pada masa Abu Yusuf tentang hubungan harga dengan kuantitas hanya
memperhatikan kurva demand, fenomena ini yang kemudian dikritisi Abu
Yusuf dalam literatur kontemporer, fenomena yang berlaku pada masa Abu Yusuf
dapat dijelaskan dalam teori permintaan. Formulasi dalam teori permintaan
menunjukkan bahwa pengaruh harga terhadap jumlah permintaan suatu komoditi
negatif.
Abu Yusuf mengatakan “Tidak ada batasan
tertentu tentang murah atau mahal yang dapat dipastikan, hal tersebut ada yang
mengaturnya, prinsipnya tidak bisa diketahui, murah bukan karena melimpah dan
begitu pula mahal bukan karena kelangkaan.”[19]
Islam
sangat menjunjung tinggi keadilan (al-adl/justice), termasuk juga
didalamnya mengenai penentuan harga. Terdapat beberapa terminologi dalam bahasa
arab yang maknanya menuju kepada harga yang adil. Antara lain adalah si’r
al-mitsl, tsaman al mitsl dan qimah al-‘adl. Istilah qimah al-‘adl (harga
yang adil) pernah digunakan oleh Rasulullah saw dalam mengomentari kompensasi
bagian untuk pembebasan budak, dimana budak ini akan menjadi manusia merdeka
dan majikannya tetap memperoleh kompensasi dengan harga yang adil (shahih
muslim).
Penggunaan istilah ini juga
ditemukan dalam laporan tentang Khalifah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi
Thalib. Umar menggunakan istilah harga yang adil ini ketika menetapkan nilai
baru atas diyat (denda), setelah nilai dirham turun sehingga harga-harga naik.
Adanya suatu harga yang adil
telah menjadi pegangan yang mendasar dalam transaksi yang islami. Secara umum
harga yang adil ini adalah harga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau
penindasan sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang
lainnya.
Islam menghargai hak penjual dan
pembeli untuk menentukan harga sekaligus melindungi hak keduanya. Dalam islam
diperbolehkan untuk melakukan intervensi harga bagi pemerintah, bila kenaikan
harga disebabkan oleh distorsi terhadap permintaan dan penawaran. Intervensi
harga yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain:
1.
Intervensi
harga menyangkut kepentingan masyarakat untuk melindungi penjual dalam hal profit
margin sekaligus melindungi pembeli dalam hal purchasing power.
2.
Jika
tidak dilakukan intervensi harga maka penjual dapat menaikkan harga dengan cara
ikhtikar yang mana dapat mendzalimi konsumen.
3.
Konsumen
biasanya mewakili masyarakat yang lebih luas, sedangkan produsen atau penjual
mewakili masyarakat yang lebih sempit, sehingga intervensi harga berarti pula
melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas.[20]
Keadilan merupakan nilai paling
mendasar dalam ekonomi islam. Seluruh ulama terkemuka sepanjang sejarah islam
menempatkan keadilan sebagai unsur paling utama dalam maqashid Syariah. Sayyid
Qutb menyebutkan keadilan sebagai unsur pokok komprehensif dan terpenting dalam
aspek kehidupan. [21]
Menurut Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), berdasarkan makna adil yang ada dalam
al-quran, maka bisa disimpulkan nilai turunan yang berasal darinya sebagaimana
berikut:[22]
a.
Persamaan
kompensasi
Persamaan
kompensasi merupakan pengertian adil yang paling umum, yaitu bahwa seseorang
harus memberikan kompensasi yang sepadan kepada pihak lain sesuai dengan
pengorbanan yang telah dilakukannya. Pengorbanan yang telah dilakukan ini yang
menyebabkan seorang memperoleh hak untuk mendapatkan balasan yang seimbang atas
pengorbanannya.
b.
Persamaan
hukum
Yang
dimaksudkan dalam persamaan hukum adalah setiap orang harus diperlakukan sama
di muka hukum. Tidak ada diskriminasi terhadap siapapun di hadapan hukum atas
dasar apapun. Dalam konteks ekonomi maka setiap orang harus diperlakukan sama
dalam setiap aktivitas maupun transaksi ekonomi. Tidak ada alasan untuk
melebihkan suatu golongan tertentu diatas golongan lainnya.
c.
Moderat
Moderat
dalam hal ini dimaknai dengan posisi yang berada di tengah. Nilai adil dianggap
telah diterapkan seseorang jika seseorang tersebut mampu memposisikan dirinya
dalam posisi di tengah. Hal ini memberikan implikasi bahwa seseorang harus
mengambil posisi ditengah dalam artian tidak mengambil keputusan yang terlalu
memberikan keringanan, seperti pemberian kompensasi.
d.
Proporsional
Adil
tidak selalu diartikan kesamaan hak, namun hak ini disesuaikan dengan ukuran
setiap individu secara proporsional sesuai tingkat kebutuhan, kemampuan,
pengorbanan, tanggung jawab ataupun kontribusi yang diberikan oleh seseorang.
Kegiatan
jual-beli di dalam islam merupakan kegiatan yang melibatkan hubungan antara
manusia (penjual) dengan manusia lain (pembeli) dan bercirikan ketuhanan
(Qardhawi, 2000). Sementara dalam pandangan Al-Maududi (2005), perbedaan antara
bisnis atau sistem ekonomi islam dengan paham kapitalis dan sosialis terdapat
pada letak norma yang melingkupinya, yaitu kejujuran, keadilan, persaudaraan,
dan altruism.
Dalam
kaitannya dengan hubungan antar manusia, maka setidaknya seorang penjual harus
berlaku jujur (shiddiq) kepada pembeli sehingga tidak terjadi penipuan
didalam bertransaksi (Afzalurrahman, 2000). Sedangkan menurut (Hartropp, 2010),
kejujuran tidaklah cukup tanpa disertai keadilan di dalam memperlakukan
pelanggan dan lingkungan dimana perusahaan beroperasi. Keadilan akan mengurangi
kesenjangan pemenuhan kebutuhan antar setiap pelanggan (Kolm, 1995).
Di sisi
lain, masih banyak umat manusia yang keadaan ekonominya tergolong kurang mampu
sehingga membutuhkan perhatian lebih dari sesamanya agar dapat terus bertahan
hidup. Sebagai sesama makhluk ciptaan Allah, seorang penjual juga harus
memiliki sifat kemanunggalan (ukhuwwah) dengan saling tolong-menolong
dilandasi rasa kasih sayang untuk membantu sesamanya yang tidak mampu (Shihab,
1997).
Bahkan
menurut Al-Maududi, meskipun setiap orang mempunyai hak untuk memiliki kekayaan,
tetapi kepentingan kehidupan umat manusia pada umumnya adalah yang tertinggi karena
mereka mempunyai hak untuk hidup dan hak kepemilikannya.
Oleh
karena itu dalam system ekonomi islam bercirikan ketuhanan, maka setiap
aktivitas pelaku bisnis merupakan bentuk pengabdian kepada sang Penciptanya.
Dengan demikian, setiap pelaku bisnis memposisikan dirinya sebagai hamba yang
siap bekerja optimal untuk memenuhi tugas Penciptanya. Oleh karena itu, seorang
pengusaha semestinya memahami nilai kehambaan (tauhid) di dalam
pengabdiannya. (Qardhawi, 2000).
Adapun
nilai-nilai amanah, ikhlas, ihsan, mashlahah, istikhlaf, dan qanaah menjadi
pendukung keempat nilai tersebut dalam merumuskan konsep harga jual.
Nilai-nilai tersebut sebagai penunjang nilai kehambaan didalam mengabdi kepada
sang Pencipta.
Kesimpulan
Merujuk
pada penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa berbagai macam metode penetapan
harga tidak dilarang oleh Islam dengan ketentuan sebagai berikut; harga yang
ditetapkan oleh pihak pengusaha /pedagang tidak menzalimi pihak pembeli, yaitu
tidak dengan mengambil keuntungan diatas normal atau tingkat kewajaran. Tidak
ada penetapan harga yang sifatnya memaksa untuk para penjual selama mereka
mengambil keuntungan yang sewajarnya dan juga tidak merugikan orang lain. Harga
disepakati oleh kedua belah pihak baik dari pembeli maupun penjual. Harga
merupakan titik keseimbangan antara kekuatan permintaan dan juga penawaran
pasar yang telah disepakati secara suka rela. Apabila sebuah keseimbangan telah
terganggu maka pemerintah atau pihak yang berwenang dalam hal ini dapat
melakukan intervensi terhadap pasar dengan menjunjung tinggi asas-asas keadilan
baik terhadap pihak pedagang atau pengusaha maupun terhadap pihak konsumen.
Referensi
Alimuddin. 2011. Konsep Harga
Jual Maslahah Berbasis Nilai-nilai Islam. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/22171/4Konsep%20harga%20jual%20Islam.pdf?sequence=1 (diakses pada tanggal 27 Maret
2020).
Kamalia. 2011. Mekanisme
Penetapan Harga Dalam Pandangan Ekonomi Islam. http://repository.uin-suska.ac.id/2085/1/2011_2011283.pdf (diakses pada tanggal 27 Maret
2020).
Parakkasi, Idris. 2018. Analisis
Harga dan Mekanisme Pasar Dalam Perspektif Islam. http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/lamaisyir/article/download/4982/4428 (diakses pada tanggal 27 Maret
2020).
Hilal, Syamsul. 2014. Konsep
Harga Dalam Ekonomi Islam. https://media.neliti.com/media/publications/177467-ID-konsep-harga-dalam-ekonomi-islam-telah-p.pdf (diakses pada tanggal 27 Maret
2020).
Digital Library UIN Surabaya.
Penetapan Harga Dalam Islam. http://digilib.uinsby.ac.id/18443/5/Bab%202.pdf (diakses pada tanggal 27 Maret
2020).
Repository UIN Raden Intan.
Konsep Harga Menurut Ekonomi Islam. http://repository.radenintan.ac.id/1166/3/BAB_II_REVISI_MUNA.pdf (diakses pada tanggal 27 Maret
2020).
Nuryadin, Muhammad Birusman.
Harga Dalam Perspektif Islam. https://basecampumj.files.wordpress.com/2010/11/cost.pdf
(diakses pada tanggal 27
Maret 2020).
[1]
Tim.
Reality, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia Dilengkapi Ejaan Yang Benar (Jakarta:PT. Reality Publisher
2008)
[2]
Abu Malik
Kamal Bin Assayid Salim, Sahih Figh Assunah wa adhilatuhu wa tauhid mazdzhib
Al- Imnah Terj. Sahih Fiqih Sunnah Khairul Amru Harahap (Jakarta: Pustaka
Azzam 2007) Cet.
Ke-1 h.471
[5]
Fandy
Tjiptono. Strategi Pemasaran (Yogyakarta: Penerbit Andi, 1997), h. 151
[6]
Fandy
Tjiptono, loc. cit. h. 152
[11] Ibnu Khaldun. The
Muqaddimah, English Edition Transl. Franz Rosenthal (London: Rontledge &
Kegan Paul, 1967), h. 338.
[12] Abu Daud, Sunan
Abu Daud, No Hadits 3450, jilid III, Dar al-Hadits Syuriah,tt.
[13] At-Tirmizy,
Al-Jami Shahih Sunan At-Tirmizy, No Hadits 1310, Juz III, Dar al-Fikri Beirut,
h 37
[14] Hadits ini
dikutip oleh S.M.Yusuf, op.cit., h 47 dan Mustaq Ahmad, op.cit, h 148
[20]
Heri
Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar (Yogyakarta: Ekonomisia,2002),
h. 203
[21]
Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam (Jakarta:Rajawali
Press,2009),h.59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar