Minggu, 14 Juni 2020

ANALISIS KETIMPANGAN WILAYAH DENGAN DAMPAK COVID-19 TERHADAP EKONOMI NASIONAL






UNIVERSITAS INDONESIA



POLICY PAPER

ANALISIS KETIMPANGAN ANTAR WILAYAH DI INDONESIA
&
DAMPAK PANDEMIK COVID-19 TERHADAP EKONOMI NASIONAL


MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA


BELLA KHAFID NURUDDIN
1706058911



Dosen Pengampu:
Fauziah M.T., Ph.D.
T.M. Zakir Sjakur Machmud M.Ec., Ph.D.

Asisten Dosen:
Lovina Aisha Malika Putri


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI SARJANA AKUNTANSI
DEPOK
2020








Pembangunan ekonomi adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan suatu bangsa yang biasanya diukur dengan tinggi rendahnya suatu pendapatan per kapita. Pembangunan ekonomi yang merupakan suatu proses yang didalamnya termasuk perubahan struktur, sikap hidup, dan kelembagaan. Akibat adanya perbedaan dan keragaman potensi sumber daya alam, kualitas sumber daya alam, letak geografis diberbagai wilayah Indonesia yang diikuti dengan perbedaan kinerja di setiap wilayah menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah (Todaro, 2011).
      Kesenjangan atau ketimpangan antar daerah merupakan konsekuensi dari sebuah proses pembangunan yang merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri. Perbedaan tingkat kemajuan disetiap daerah yang sangat timpang akan menyebabkan pengaruh yang merugikan dan mendominasi pengaruh yang menguntungkan terhadap pertumbuhan daerah. Menghapus dan mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan pengangguran merupakan tujuan dari sebuah proses pembangunan selain pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan ekonomi.
      Dilihat dari kondisi Pulau Jawa sebagai sentral kegiatan ekonomi dan juga jasa di Indonesia dapat diasumsikan bahwa ketimpangan ekonomi sudah terjadi di Indonesia. Melihat dari segi geografis yang sangat strategis ditengah kepulauan di Indonesia dan juga daratan yang stabil dibandingkan pulau lainnya di Indonesia yang masih tertutupi oleh hutan, menyebabkan Pulau Jawa memiliki potensi industri yang cukup kuat dan dengan adanya aksesibilitas yang sudah sangat mumpuni berdampak kegiatan industri di Pulau Jawa cepat menyebar keseluruh pulau. Struktur ekonomi Indonesia secara spasial tahun 2019 didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Pulau Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto, yakni sebesar 59,00 persen, diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 21,32 persen, dan Pulau Kalimantan 8,05 persen.[1]
      Pada saat Indonesia sedang mencoba untuk lepas dari jerat kemiskinan, sebuah bencana global mengguncang perekonomian Indonesia dan juga dunia, yang pastinya berdampak langsung pada kegiatan ekonomi masyarakat dan pelaku usaha. Bahkan target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,3% hanya menjadi angan-angan saja. Lembaga penelitian ekonomi Center of Reforms on Economic (CORE) bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran -2% hingga 2 %.[2]
1.      Bagaimana analisis dampak Covid-19 dari sudut pandang ekonomi wilayah?
2.      Bagaimana perencanaan industri berbasis daerah setelah pandemi Covid-19 selesai?
3.      Bagaimana posisi Indonesia dalam rantai nilai global atau Global Value Chain (GVC) setelah pandemi Covid-19 selesai?

Ketimpangan ekonomi terjadi ketika terdapat perbedaan pembangunan ekonomi antar suatu wilayah dengan wilayah lainnya secraa vertikal maupun horizontal yang menyebabkan disparitas atau tidak meratanya pembangunan. Mengurangi ketimpangan atau disparity adalah salah satu tujuan dari pembangunan ekonomi daerah. Tingkat kemajuan suatu daerah dapat dilihat dari pendapatan perkapita, namun meningkatnya pendapatan perkapita tidak menunjukkan bahwa pemerataan pendapatan telah terjadi secara baik. Di negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih menekankan pada penggunaan modal dibandingkan dengan tenaga kerja sehingga keuntungan dari perekonomian tersebut hanya dinikmati sebagian kelompok masyarakat saja. Jika pendapatan nasional tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketimpangan.
Menurut Kuncoro (2006), ketimpangan mengacu pada standar hidup yang relatif pada seluruh masyarakat, karena kesenjangan antar wilayah yaitu adanya perbedaan faktor anugrah awal (endowment factor). Perbedaan ini yang membuat tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut (Sukirno, 2010).
      Simon Kuznet (1955) mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan akan memburuk, namun pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatannya akan mengalami peningkatan. Observasi inilah yang kemudian, dikenal sebagai kurva Kuznet “U-Terbalik”, karena perubahan longitudinal (time-series) dalam distribusi pendapatan. Kurva Kuznet dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern.

      Dalam hipotesis ini bentuk kurva dimulai ketika pertumbuhan ekonomi yang awalnya meningkat dan pada tingkat kesenjangan pendapatan rendah sampai pada suatu tingkat pertumbuhan tertentu kemudian mengalami penurunan. Disebutkan bahwa diantara faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik yang mempengaruhi pola U, terdapat faktor yang penting yaitu terpusatnya modal pada kelompok pendapatan tinggi dan adanya perubahan terstruktur pekerjaan penduduk dari sektor pertanian ke sektor industri yang modern.
      Mydral (1957) menjelaskan mengenai terjadinya ketimpangan antar daerah. Mydral mengemukakan teori keterbelakangan dan pembangunan ekonomi pada sekitar ide ketimpangan regional di taraf nasional maupun internasional. Untuk menjelaskannya menggunakan spread effect dan backwash effect sebagai pengaruh penjalaran dari pusat pertumbuhan ke daerah sekitar.
      Spread effect atau dampak sebar didefinisikan sebagi suatu pengaruh yang mendatangkan keuntungan (favourable effect), di dalamnya terdapat aliran kegiatan-kegiatan investasi di pusat pertumbuhan ke daerah di sekitarnya. Backwash effect atau dampak balik didefinisikan sebagai pengaruh yang mendatangkan kerugian (infavourable effect), yang mencakup aliran manusia dari wilayah sekitar atau pinggiran termasuk aliran modal ke wilayah inti dan mengakibatkan berkurangnya modal pembangunan bagi wilayah pinggiran yang sebenarnya diperlukan untuk dapat mengejar ketertinggalan di wilayah inti.
      Menurut Mydral (1957), ketimpangan sosial terjadi karena pengaruh backwash effect lebih besar dibandingkan dengan spread effect pada negara-negara terbelakang. Perpindahan modal akan meningkatkan ketimpangan regional, peningkatan permintaan ke wilayah maju akan merangsang investasi yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan yang menyebabkan putaran kedua investasi dan seterusnya. Lingkup investasi yang lebih baik pada sentra-sentra pengembangan dapat menciptakan kelangkaan modal di wilayah terbelakang (Jhingan, 2010).
      Ukuran Ketimpangan
1.      Size Distribution
Penghitungan ukuran ketimpangan ini menggunakan persentase dari 40% pendapatan penduduk paling miskin dibandingkan dengan keseluruhan pendapatan masyarakat. Selain itu juga dapat dilakukan dengan membandingkan persentase pendapatan dari 40% penduduk paling miskin dengan persentase pendapatan dari 20% penduduk paling kaya.
a.       Tingkat ketimpangan berat apabila 40 persen penduduk paling miskin menerima kurang dari 12 persen pendapatan nasional.
b.      Tingkat ketimpangan sedang apabila 40 persen penduduk paling miskin menerima antara 12-17 persen dari pendapatan nasional.
c.       Tingkat ketimpangan ringan apabila 40 persen penduduk paling miskin menerima diatas 17 persen dari pendapatan nasional.
2.      Kurva Lorenz
Kurva Lorenz adalah sebuah kurva yang dasar pembuatannya adalah angka-angka yang digunakan dalam perhitungan size distribution dengan cara menampilkannya dalam bentuk kurva. Dengan menggunakan garis horisontal sebagai persentase penduduk dan garis vertikal sebagai persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok penduduk, maka data dalam size distribution dapat digambarkan dalam bentuk kurva lorenz seperti di bawah ini.
3.      Index Gini
Ukuran index gini dihitung menggunakan kurva Lorenz, dengan cara membandingkan atau menbagi bidang yang dibatasi oleh garis diagonal dalam kurva Lorenz dengan garis lengkung sebagai penyimpangan atas diagonal. Angka yang dihasilkan dari perhitungan tersebut adalah index gini atau rasio gini. Index gini berkisar diantara nol dan satu. Index gini 0 menunjukkan adanya pemerataan pendapatan sempurna dimana semua orang memiliki pemdapatan yang sama. Sedangkan index gini 1 menunjukkan adanya ketidakmerataan yang sempurna.

Global Value Chains

                  Istilah rantai nilai atau value chains mengacu pada serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan atau membuat suatu produk atau jasa yang dimulai dari tahap konseptual atau perancangan, kemudian dilanjutkan dengan beberapa tahapan produksi, hingga pengiriman ke konsumen akhir dan pemusnahan setelah penggunaanya (Kaplinsky 1999; Cattaneo et al. 2013). Rantai nilai ini dimulai dari suatu sistem produksi bahan baku yang akan terus terikat dengan kegiatan usaha lainnya dalam perdagangan, perakitan, pengolahan dll. Semua aktivitas tersebut dapat dilakukan di dalam suatu perusahaan yang sama ataupun beberapa perusahaan yang berbeda. Dengan adanya perkembangan zaman dan industri, seluruh kegiatan dalam rantai nilai mengalami perkembangan yang pada awalnya hanya dilakukan dalam suatu perusahaan yang sama, kemudian berkembang menjadi beberapa perusahaan yang berbeda dan sekarang kian berkembang dan kemudian semakin tersebar ke beberapa negara sehingga rantai nilai tersebut menjadi global.
                  Rantai nilai global (global value chain) merupakan sebuah kegiatan dimana setiap negara mempunyai peran masing-masing dalam penyediaan bahan baku, produk antara, dan barang jadi (DJKPI 2012). Ciri utama dari GVC adalah sistem produksi yang tersebar di macam-macam lokasi di berbagai negara sehingga menghasilkan tingkat efisiensi tertinggi dan keuntungan yang lebih besar di setiap bagian sistem produksi. Penelitian sebelumnya mengenai rantai nilai global menunjukkan bahwa kemampuan dalam bergabung dalam suatu rantai nilai global menjadi hal penting bagi perkembangan negara, terutama bagi negara-negara berpenghasilan rendah (Gereffi dan Stark 2011).
Dalam jurnal berjudul “Pengaruh Ketimpangan Pembangunan Antarwilayah Terhadap Kemiskinan di Indonesia 2004-2013” yang ditulis oleh Ari Mulianta Ginting pada 2015 menyebutkan bahwa ketimpangan pembangunan ekonomi antarwilayah menurut Sjafrizal (2012) merupakan fenomena umum yang terjadi dalam proses pembangunan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada awalnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan demografi yang terdapat pada masingmasing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju (developed region) dan wilayah relatif terbelakang (underdeveloped region).
Armida. S Alisjahbana mengatakan bahwa salah satu permasalahan ketimpangan yang menonjol di Indonesia adalah kesenjangan antardaerah sebagai konsekuensi dari terkonsentrasinya kegiatan perekonomian di Pulau Jawa dan Bali. Berkembangnya provinsi-provinsi baru sejak tahun 2001 dan desentralisasi diduga akan mendorong kesenjangan antardaerah yang lebih lebar.
Untuk mengetahui ketimpangan pembangunan antarwilayah menggunakan indeks ketimpangan regional (regional inequality) yang dinamakan indeks ketimpangan Williamson.
Sedangkan Indeks Ketimpangan Pembangunan Ekonomi ditunjukkan oleh angka 0 sampai dengan angka 1 atau 0 < Vw < 1. Semakin mendekati 0 berarti ketimpangan semakin rendah dan semakin mendekati 1 berarti ketimpangan semakin lebar. Data ketimpangan pembangunan antarwilayah diolah penulis dengan menggunakan data yang bersumber dari BPS.
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) pada awal Februari 2020 memprediksi ekonomi Indonesia di 2020 berpotensi meningkat. Peningkatan ini dapat dicapai jika pemerintah dapat mengantisipasi dan mengatasi berbagai faktor yang berpotensi muncul dan faktor-faktor yang masih menghambat pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Seperti yang diketahui, pertumbuhan ekonomi indonesia di 2019 gagal atau bahkan menyamai perumbuahan ekonomi di 2018. Pertumbuhan ekonomi 2019 berada pada angka 5,02 persen yang mana lebih rendah dari tahun 2018 yang mencapai 5.17 persen.
Peneliti CIPS, Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan, pemerintah perlu tetap waspada dan mengantisipasi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di 2020. Kondisi yang dialami Indonesia pada tahun lalu sejalan dengan dinamika perekonomian global. Walau demikian, tengah ketidakpastian global tersebut, Indonesia masih terbilang aman walaupun terjadi penurunan pada pertumbuhan ekonomi secara nasional secara year-on-year. Hal ini dapat dilihat dengan posisi indonesia dalam G-20 pada tahun 2019 yang menempati posisi kedua tertinggi dalam aspek pertumbuhan ekonomi.
Bambang Brojonegoro menyatakan ketika pertumbuhan ekonomi meningkat ada tendensi pada gini ratio untuk naik pula. Salah satu pertumbuhan ekonomi yang tinggi terjadi pada tahun 2011 ketika periode “booming” komoditas, Saat itu, rasio ketimpangan melompat hingga ke angka 0,41.
Data BPS menunjukkan bahwa koefisien gini di daerah perkotaan pada Maret 2019 masih cukup tinggi yakni sebesar 0,392. Angka ini naik dibandingkan September 2018 yang sebesar 0,391 dan turun dibandingkan dengan rasio gini Maret 2018 yang sebesar 0,401. Sebaliknya, gini ratio di daerah perdesaan tercatat sebesar 0,317 ada Maret lalu, turun dibandingkan dengan rasio gini September 2018 yang sebesar 0,319 dan rasio gini Maret 2018 yang sebesar 0,324.
Uke Muhammad Hussein, menyebutkan prioritas pembangunan nasional saat ini berfokus pada upaya mengembangkan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan. Angka ketimpangan antar wilayah masih sangat tinggi. Kemiskinan di kawasan timur Indonesia sebesar 18,01 persen, kawasan barat Indonesia 10,33 persen, dan perkotaan 7,02 persen. Sementara ketimpangan pendapatan perdesaan 0,324 dan perkotaan 0,4.
Datangnya pandemik Covid-19 memperburuk keadaan ketimpangan yang sedang terjadi di Indonesia yang menyebabkan harga barang di pasar mengalami kenaikan secara agregat dikarenakan banyak konsumen yang melakukan panic buying yang berdampak pada kelangkaan pada barang bahan pokok. Hal ini membuat ketimpangan antar wilayah di Indonesia semakin besar, karena kenaikan harga yang tinggi hanya dapat dirasakan oleh golongan masyarakat yang memiliki pendapatan tinggi seperti wilayah-wilayah di Pulau Jawa yang tergolong wilayah sebagai penyumbang terbesar bagi PDB Indonesia dibandingkan Pulau lainnya.
Ketidakstabilan yang terjadi akibat pandemik ini membawa banyak dampak buruk bagi perekonomian Indonesia. Perekonomian dunia yang tertekan tentunya akan berimbas ke dalam negeri, bahkan prediksi pertumbuhan ekonomi indonesia yang akan meningkat terancam gagal. Bank Indonesia (BI) dalam buku Laporan Perekonomian Indonesia (LPI) 2019 bahkan memproyeksi perekonomian Indonesia 2020 hanya akan mampu tumbuh disekitar 4,2-4,6%. Proyeksi ini jauh lebih rendah dibandingkan awal tahun lalu sekitar 5-5,5%.
Buku LPI mencatat, berdasarkan komponennya, ekspor diperkirakan stuck pada tahun 2020 akibat pertumbuhan ekonomi global yang tidak stabil. Ekspor diperkirakan terkontraksi pada kisaran 5,2-5,6% pada 2020 akibat terguncangnya pertumbuhan ekonomi global, penurunan volume perdagangan, dan rendahnya harga komoditas.
Covid-19 mengakibatkan terganggunya rantai suplai global yang juga diperkirakan dapat mempengaruhi ekspor Indonesia akibat tidak tersedianya bahan antara yang diproduksi di negara lain. Selain ekspor barang yang terganggu, ekspor jasa juga diperkirakan akan tertahan akibat kunjungan wisata yang terkontraksi.
Dari data OECD, setiap US$ 10 nilai ekspor Indonesia, sekitar US$ 8,8 (88%) nilai tambah domestik. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga proporsi ini terbilang sangat tinggi. Seperti China71%, India 79%, Malaysia 61%, Thailand 62%, dan Vietnam 63%. Tetapi dibalik itu, ternyata peran indonesia dalam pembentukan mata rantai nilai tambah global atau Global Value Chain cukup rendah.
Global value chain menurut Hummels et al. (2001) adalah sebuah proses pembentukan nilai tambah atas suatu barang yang melibatkan tiga hal. Yaitu proses produksi barang secara bertahap, terdapat dua atau lebih negara memberikan nilai tambah dan terjadi proses ekspor dan impor barang setengah jadi untuk proses produksi selanjutnya. Dengan menggunakan index partisipasi, keterlibatan suatu negara dalam global value chain dapat dideteksi.
Index partisipasi ini dibagi menjadi dua, yaitu partisipasi mundur (backward participation), menjelaskan kandungan nilai tambah negara lain dalam komoditas ekspor Indonesia. Yang kedua yaitu partisipasi maju (forward participation), menggambarkan berapa kandungan nilai tambah Indonesai dalam suatu ekspor negara.
Indonesia memiliki tingkat partisipasi yang cukup tinggi yang menjelaskan bahwa Indonesia banyak mengekspor bahan setengah jadi yang kemudian diproses lebih lanjut diluar negeri. Tetapi dalam tingkat backward participation Indonesia masih sangat rendah. Komoditas ekspor tidak memiliki keterkaitan dengan input negara lain. Sebagai contoh, dibandingkan negara ASEAN lainnya, ekspor hi-tech Indonesia cukup kecil.  Bank Dunia mendefinisikan sebagai komoditas dengan kandungan R&D tinggi meliputi produk komputer, mesin elektronika dan farmasi. Sampai tahun 2016, Indonesia masih bergelar negara dengan high-tech export paling rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lain dengan porsi 5,8% dari total ekspor manufaktur.
Analisis global value chain penting untuk mengamati perubahan dan pergeseran pola produksi, keterhubungan antarnegara dan kontribusi dari masing-masing negara dalam proses pembentukan nilai tambah suatu barang dan jasa. Global value chain. juga bisa menggambarkan spesialisasi, kualitas tenaga kerja, serta transfer teknologi.
Dengan adanya ketidakstabilan ekonomi yang sedang terjadi, pembangunan daerah-daerah yang jauh dari pusat ibu kota sangat diperlukan untuk menciptakan pusat kawasan ekonomi atau industri yang baru,
Kawasan Andalan, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah suatu kawasan yang dikembangkan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah melalui pengembangan kegiatan ekonomi yang dapat diandalkan untuk menjadi motor penggerak di wilayah tersebut.
Adapun wilayah yang akan dikaji adalah:
1.      Kawasan Andalan Rengat Kuala Enok (Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Kuantan Sengingi, dan Kabupaten Pelalawan).
2.      Kawasan Andalan Priangan Timur (Kabupaten Ciamis, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Tasikmalaya).
3.      Kawasan Andalan Malang (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu).
4.      Kawasan Andalan Manado (Kota Manado, Kota Bitung, dan Kabupaten Minahasa).


Berikut rekomendasi kebijakan untuk mengatasi ketimpangan dan dampak pandemi Covid-19:
1.      Mengembangkan pusat kegiatan ekonomi baru
Dengan adanya pembentukan suatu pusat kegiatan ekonomi baru di berbagai wilayah di Indonesia dapat membantu pembangunan dalam bidang ekonomi dan mengurangi ketimpangan antara daerah sentral di Pulau Jawa dan daerah lain di luar Pulau Jawa.
2.      Penguatan konektivitas Indonesia sebagai negara kepulauan
Sebuah tantangan tersendiri untuk Indonesia sebagai negara kepulauan yang jumlahnya ribuan. Konektivitas antar pulau sangat penting dalam mendorong sektor ekonomi untuk maju. Ketika aksesibilitas sulit, maka persebaran barang akan menjadi terhambat dan juga berdampak pada keniakan harga yang mahal dikarenakan freight cost yang tinggi.
3.      Memperbaiki pelayanan dasar untuk memperbaiki kesenjangan
Berbagai pelayanan dasar harus tersebar merata ke seluruh penjuru negeri. Seperti sekolah sebagai dasar pendidikan yang sangat penting dan merupakan hak bagi seluruh masyarakat, karena dengan adanya SDM di daerah yang mencukupi dan mempunyai kualitas yang cukup bagus, maka ketimpangan antar wilayah di Indonesia akan semakin mudah untuk ditekan. Fasilitas kesehatan juga sebagai hak dasar yang seyogyanya bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat, faktor kesehatan juga menjadi kebutuhan pokok untuk menunjang kegiatan ekonomi masyarakat.
4.      Pemanfaatan ekonomi digital
Dalam era yang serba digitalisasi seperti ini, sudah sangat wajar apabila hampir semua kegiatan manusia terhubung dengan perangkat digital ataupun internet. Sebagi contoh dengan adanya internet masyarakat di desa dapat mengakses harga pasar sebagi dasar pertimbangan mereka untuk menjual hasil pertanian mereka agar tidak dapat ditipu oleh tengkulak. Dan juga pemanfaatan lainya dapat menjual segala hal secara online melalui aplikasi ataupun e-commerce agar mengurangi pihak ketiga untuk mereduksi biaya.

Pembangunan ekonomi merupakan upaya untuk menaikkan taraf hidup suatu negara yang diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan per kapita suatu negara. Ketimpangan antar wilayah yang terjadi sebagai akibat dari pembangunan antar wilayah yang berbeda-beda tingkat kecepatannya. Ketimpangan sosial pada saat ini dapat dilihat dari persentase sumbangan PDB Pulau Jawa sebesar 58-60% dari total PDB nasional yang berarti bahwa semua kegiatan ekonomi baik industri maupun sektor lainnya masih terfokus pada satu pulau dan belum merata keseluruh wilayah si Indonesia. Belum selesai dengan masalah ketimpangan yang terjadi di Indonesia, negara ini harus dihadapkan dengan permasalahan global yaitu pandemik Covid-19 yang menyebabkan ekonomi Indonesia menjadi tidak stabil. Pertumbuhan ekonomi yang sudah diprediksi oleh pengamat akan mengalami kenaikan pada tahun ini, berubah seketika pada bulan Maret ini dan kemungkinan akan turun 1% dari prediksi awal.
            Covid-19 mengakibatkan terganggunya rantai suplai global yang juga diperkirakan dapat mempengaruhi ekspor Indonesia akibat tidak tersedianya bahan antara yang diproduksi di negara lain. Selain ekspor barang yang terganggu, ekspor jasa juga diperkirakan akan tertahan akibat kunjungan wisata yang terkontraksi.
1.      Lebih mengutamakan pendidikan jenis terapan untuk mengurangi jumlah pengangguran, karena jenis ini lebih cepat untuk terjun ke dalam dunia kerja.
2.      Memperhatikan gizi balita, ketika anak usia dini masih rentan terhadap penyakit kedepannya akan mempengaruhi kualitas dari kecerdasan anak-anak.
3.      Melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap dana bantuan langsung ke masyarakat agar penggunaannya tepat sasaran dan kepada orang yang membutuhkan.
4.      Melakukan pendataan secara massal daerah yang masih terbilang tertinggal untuk lebih diberikan perhatian khusus demi tercapainya pembangunan nasional.
5.      Mengembangkan sektor-sektor wisata yang potensial untuk menjadi sumber kegiatan ekonomi masyarakat sekitar.
Badan Pusat Statistik. 2020. Ekonomi Indonesia 2019 Tumbuh 5,02 Persen. Diakses dari: https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/02/05/1755/ekonomi-indonesia-2019-tumbuh-5-02-persen.html
Hariani, Prawidya. Analisis Ketimpangan Ekonomi dan Pengaruhnya Terhadap Tingkat Kriminalitas. Media Neliti. Diakses dari: https://media.neliti.com/media/publications/77358-ID-analisis-ketimpangan-ekonomi-dan-pengaru.pdf
Nurdiati, Rizki Putri. 2015. Peran Indonesia Dalam Rantai Nilai Global Produk Elektronik. Media Neliti. Diakses dari: https://media.neliti.com/media/publications/228326-none-2adbd213.pdf
Ika. 2019. Ketimpangan Antar Wilayah Masih Jadi Tantangan Pembangunan Nasional. Universitas Gajah Mada. Diakses dari: https://ugm.ac.id/id/berita/18662-ketimpangan-antar-wilayah-masih-jadi-tantangan-pembangunan-nasional
Julita, Lidya. 2020. Ucapkan Selamat Tinggal Pada Pertumbuhan Ekonomi RI 5%. CNBC INDONESIA. Diakses dari: https://www.cnbcindonesia.com/news/20200330141518-4-148479/ucapkan-selamat-tinggal-pada-pertumbuhan-ekonomi-ri-5
Kompas.com. 2020. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di 2020 Berpotensi Meningkat. Diakses dari: https://money.kompas.com/read/2020/02/07/205337126/pertumbuhan-ekonomi-indonesia-di-2020-berpotensi-meningkat
BAPPENAS. Pengembangan Ekonomi Daerah Berbasis Kawasan Andalan: Membangun Model Pengelolaan dan Pengembangan Keterkaitan Program. Diakses dari: https://www.bappenas.go.id/files/4513/5080/2311/10pengembangan-ekonomi-daerah-berbasis-kawasan-andalan-membangun-model-pengelolaan-dan-pengembangan-keterkaitan-program__20081123002641__9.pdf
Adi, Tri. 2018. Peran Indonesia Dalam Global Value Chain. Kontan. Diakses dari: https://analisis.kontan.co.id/news/peran-indonesia-dalam-global-value-chain?page=all




[1] Badan Pusat Statistik. 2020. Ekonomi Indonesia 2019 Tumbuh 5,02 Persen. bps.go.id

[2] Athika Rahma. 2020. Ekonomi Indonesia Diprediksi Tumbuh -2 Persen Gara-Gara Corona. Liputan6.com



KONSEP HARGA DALAM PANDANGAN ISLAM - EKONOMI SYARIAH




KONSEP HARGA DALAM PANDANGAN ISLAM

MAKALAH

EKONOMI SYARIAH








Oleh:
Bella Khafid Nuruddin
1706058911





Harga adalah nilai suatu barang atau jasa yang diukur dengan jumlah uang yang dikeluarkan oleh pembeli untuk mendapatkan sejumlah kombinasi barang atau jasa berikut pelayanannya.[1]
Menurut Sayyid Sabiq harga adalah apa yang sama-sama disetujui oleh kedua belah pihak yang berinteraksi baik itu harga lebih besar, lebih kecil atau sama.[2]
Harga adalah unsur penting dalam menentukan pendapatan perusahaan, arena pendapatan perusahaan atau total revenue (TR) adalah hasil kali dari harga (p) dengan kuantitas (q) yang terjual, tinggi rendahnya harga akan mempengaruhi jumlah barang yang terjual, demikian pentingnya membuat kebijakan harga.[3]
Menurut Hendry Faizal Noor harga adalah biaya tambahan, margin atau mark-up biaya (cost plus pricing). Sedangnkan harga jual adalah jumlah dari biaya-biaya ditambah keuntungan. Penetapan harga jual didasarkan pada besarnya biaya yang dikeluarkan ditambah keuntungan yang dikehendaki produsen.[4]
Harga dapat menjadi sebuah kriteria bagi konsumen ketika mereka mengalami kesulitan dalam menilai sebuah mutu dari sebuah produk yang banyak ditawarkan oleh pasar demi memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Ketika konsumen menginginkan barang dengan kualitas dan mutu yang baik maka konsumen dapat memilih barang dengan harga yang diatas rata-rata. Sebaliknya, ketika konsumen menginginkan barang dengan kualitas yang standard atau pun dibawahnya, maka mereka dapat mengambil barang dengan harga rata-rata pasar atau pun yang lebih murah.
Banyak yang beranggapan bahwa harga merupakan sebuah kunci dari sebuah sistem perdagangan. Harga pasar dari sebuah produk mempengaruhi upah, sewa, bunga dan laba. Artinya, harga sebuah produk mempengaruhi biaya faktor-faktor produksi seperti: tenaga kerja, tanah, modal dan kewirausahaan. Jadi harga adalah alat pengukur dasar sebuah sistem ekonomi karena harga mempengaruhi alokasi faktor-faktor produksi.
Harga dari suatu produk atau jasa sangat menentukan jumlah permintaan pasar, apalagi jika elastisitas dari barang tersebut bersifat elastis. Ketika harga suatu produk atau jasa cocok dengan kapabilitas konsumen, maka permintaan akan naik, yang mana menyebabkan laba dari perusahaan itu meningkat dan memungkinkan untuk harga saham dari perusahaan tersebut mengalami kenaikan. Maka tidak mengherankan jika harga mempunyai pengaruh yang besar terhadap keuangan dan keberlanjutan perusahaan.
Fandy tjiptono mengatakan bahwa agar dapat sukses dalam memasarkan suatu barang atau jasa, setiap perusahaan harus menentukan harga secara tepat. Harga merupakan satu-satunya unsur bauran pemasaran yang memberikan pemasukan atau pendapatan bagi perusahaan, sedangkan ketiga unsur lainnya (produk, distribusi, dan promosi) menyebabkan timbulnya biaya (pengeluaran). Disamping itu harga merupakan unsur bauran pemasaran yang bersifat fleksibel, artinya dapat diubah dengan cepat. Berbeda halnya dengan karakteristik produk atau komitmen terhadap saluran distribusi. Kedua hal terakhir tidak dapat diubah/disesuaikan dengan mudah dan cepat, karena biasanya menyangkut keputusan jangka Panjang.[5]
Harga memiliki dua peranan utama dalam proses pengambilan keputusan para pembeli, yaitu peranan alokasi dan peranan informasi.
a.       Peranan alokasi dari harga, yaitu fungsi harga dalam membantu para pembeli untuk memutuskan cara memperoleh manfaat atau utilitas tertinggi yang diharapkan berdasarkan daya belinya. Dengan demikian, adanya harga dapat membantu para pembeli untuk memutuskan cara mengalokasikan daya belinya pada berbagai jenis barang dan jasa. Pembeli membandingkan harga dari berbagai alternatif yang tersedia, kemudian memutuskan alokasi dana yang dikehendaki.
b.      Peranan informasi dari harga, yaitu fungsi harga dalam mendidik konsumen mengenai faktor-faktor produk, seperti kualitas. Hal ini terutama bermanfaat dalam situasi dimana pembeli mengalami kesulitan untuk menilai faktor produk atau manfaat secara objektif. Persepsi yang sering berlaku adalah bahwa harga yang mahal mencerminkan kualitas yang tinggi.[6]


Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ketentuan penetapan harga tidak dijumpai di dalam al-Quran. Adapun dijumpai beberapa riwayat yang menurut logikanya dapat diketahui bahwa penetapan harga itu diperbolehkan dengan kondisi tertentu, di dalam hadits Rasullullah SAW. Faktor dominan yang menjadi landasan hukum at-tas’ir al-jabbari, menurut kesepakatan para ulama fiqh adalah al-maslahah al-mursalah (kemaslahatan).[7]
Dari Anas bin Malik, ia berkata: orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, harga telah naik, maka tetapkanlah harga untuk kami.” Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah yang menetapkan harga, yang mempersempit, dan yang memperluas, dan aku berharap betemu dengan Allah sedangkan salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezhaliman dalam darah atau harta.” (HR. Abu Dawud).[8]
Ulama fiqh menyatakan bahwa kenaikan harga yang terjadi di zaman Rasulullah SAW tersebut bukanlah karena tindakan sewenang-wenang dari para pedagang, tetapi karena memang komoditas yang ada terbatas. Sesuai dengan hukum ekonomi apabila stok terbatas, maka wajar  barang tersebut mengalami kenaikan. Oleh sebab itu, dalam keadaan demikian Rasulullah SAW tidak mau campur tangan membatasi harga komoditas tersebut.[9]
Asy-Syaukuni menyatakan, bahwa hadits diatas dijadikan dalil bagi pengharaman pematokan harga dan bahwa ia (pematok harga) merupakan suatu kedzaliman (yaitu penguasa memerintahkan para penghuni pasar agar tidak menjual barang-barang mereka kecuali dengan harga yang sekian, kemudian melarang mereka untuk menambah ataupun mengurangi harga tersebut. Alasannya bahwa manusia dikuasakan atas mereka, sedangkan pematok harga adalah pemaksaan terhadap mereka. Padahal seorang imam diperintahkan untuk memelihara kemaslahatan umat.

a.      Tujuan berorientasi pada laba
Setiap perusahaan selalu memilih harga yang dapat menghasilkan laba yang paling tinggi, sesuai dengan asumsi teori ekonomi klasik. Tujuan ini biasa dikenal dengan maksimisasi laba. Maksimisasi laba akan cenderung sulit dicapai karena dalam era persaingan global yang mana sangat banyak variable yang mempengaruhi daya saing setiap perusahaan, dan juga dikarenakan sangat sukar untuk memperkirakan secara akurat jumlah penjualan yang dapat dicapai pada tingkat tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada perusahaan yang mungkin mengetahui secara presisi tingkat harga yang dapat menghasilkan laba maksimum.
b.      Tujuan berorientasi pada volume
Tidak hanya berorientasi pada profit/laba, tetapi juga ada perusahaan yang menetapkan harga yang didasarkan pada tujuan yang berorientasi pada volume tertentu yang biasa dikenal dengan istilah volume pricing objectives. Sedemikian rupa harga diatur dan ditetapkan agar dapat mencapai target penjualan (daam ton, kg, unit, m3, dll), nilai penjualan (Rp) atau pangsa pasar (absolut maupun relative). Tujuan jenis ini banyak diterapkan oleh perusahaan penerbangan, lembaga pendidikan, perusahaan tour and travel, perusahaan bioskop dan pemilik bisnis pertunjukan lainnya, serta penyelenggara kegiatan seminar.
c.       Tujuan berorientasi pada citra
Strategi penetapan harga dapat membentuk sebuah citra dari suatu perusahaan. Untuk membentuk dan mempertahankan citra perusahaan yang prestisius, sebuah perusahaan dapat menetapkan harga yang tinggi. Sementara itu harga rendah dapat digunakan untuk membentuk citra nilai tertentu (image of value), misalnya dengan memberikan jaminan bahwa harganya merupakan harga yang terendah dari suatu wilayah tertentu. Intinya, semua ini dilakukan sebuah perusahaan untuk meningkatkan persepsi konsumen terhadap keseluruhan bauran produk yang ditawarkan perusahaan.
d.      Tujuan stabilisasi harga
Dalam sebuah pasar yang konsumennya sangat sensitive terhadap harga, bila suatu perusahaan menurunkan harganya, maka pesaingnya harus menurunkan harga mereka pula, karena jika tidak konsumen tetap dari suatu perusahaan akan berpindah ke pesaing mereka yang harganya lebih dibawah. Kondisi seperti ini yang mendasari terbentuknya tujuan stabilitas harga dalam industri-industri tertentu yang produknya sangat terstandardisasi (misalnya minyak bumi). Tujuan stabilisasi dilakukan dengan jalan menerapkan harga untuk mempertahakan hubungan yang stabil antara harga suatu perusahaan dan harga pemimpin industri (industry leader).
e.       Tujuan-tujuan lainnya
Selain tujuan diatas juga terdapat tujuan lainnya seperti mencegah masuknya pesaing, mempertahankan loyalitas pelanggan, mendukung penjualan ulang, atau menghindari campur tangan pemerintah. Organisasi non-profit juga dapat menetapkan tujuan penetapan harga yang berbeda, misalnya untuk mencapai partial cost recovery, full cost recovery, atau untuk menetapkan social price.[10].


Terdapat berbagai macam metode dalam penetapan harga. Metode yang digunakan tergantung kepada tujuan tujuan penetapan harga yang ingin dicapai. Penetapan harga biasanya dilakukan dengan menambah persentase diatas nilai atau besarnya biaya produksi bagi usaha manufaktur, diatas modal atas barang dagangan bagi usaha dagang. Sedangkan dalam usaha jasa, penetapan harga biasanya dilakukan dengan memperhitungkan biaya yang dikeluarkan dan pengorbanan tenaga dan waktu dalam memberikan layanan kepada pengguna jasa.
a.      Metode penetapan harga berbasis permintaan
Metode ini lebih menekankan faktor-faktor yang mempengaruhi selera preferensi pelanggan daripada faktor-faktor biaya, laba dan persaingan. Permintaan pelanggan sendiri didasarkan pada berbagai pertimbangan, diantaranya yaitu:
1.      Daya beli
2.      Kemauan untuk membeli
3.      Posisi suatu produk dalam gaya hidup pelanggan
4.      Manfaat yang diberikan
5.      Harga produk-produk substitusi
6.      Saingan bersifat non-harga
7.      Perilaku konsumen secara umum
8.      Segmen-segmen pasar
Adapun metode penetapan harga berbasis permintaan terdiri dari:
1.      Skimming pricing
2.      Penetration pricing
3.      Prestige pricing
4.      Price lining pricing
5.      Odd-even pricing
6.      Demand-backward pricing
7.      Bundle pricing
b.      Metode penetapan harga berbasis biaya
Dalam metode ini harga ditentukan berdasarkan biaya produksi dan pemasaran yang ditambah dengan jumlah tertentu sehingga dapat menutupi biaya-biaya langsung, overhead, dan laba. Termasuk dalam metode ini adalah:
1.      Standard markup pricing
2.      Cost plus percentage of cost pricing
3.      Cost plus fixed fee pricing
4.      experience curve pricing
c.       Metode penetapan harga berbasis laba
Dalam penetapan harganya, metode ini berusaha untuk menyeimbangkan pendapatan dan biaya dalam penetapan harga. Upaya yang dilakukan atas dasar target volume laba spesifik atau dinyatakan dalam bentuk persentase terhadap penjualan atau investasi. Termasuk dalam metode ini seperti:
1.      Target profit pricing
2.      Target sales on return pricing
3.      Target return on investment pricing
d.      Metode penetapan harga berbasis persaingan
Penetapan harga juga dapat didasarkan pada persaingan, yaitu berdasarkan apa yang dilakukan oleh pesaingnya. Metode penetapkan harga ini terdiri dari:
1.      Customary pricing
2.      Above, at, below market pricing
3.      Loss leader pricing
4.      Sealed bid pricing


1.      Ketersediaan barang (supply)
Ketersediaan barang atau jasa dalam pasar akan memudahkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga harga secara relative akan berada dalam keseimbangan. Dan hal sebaliknya, jika kelangkaan terjadi maka akan ada spekulasi dan berdampak pada kenaikan harga barang-barang di pasar.
Menurut Ibnu Kaldun: ketika barang-barang yang tersedia sedikit, harga-harga akan naik. Namun, bila jarak antar kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang akan melimpah dan harga-harga akan turun.[11]
2.      Rekayasa demand (ba’i najasi)
Rekayasa ini terjadi ketika para produsen meminta pihak lain untuk memuji produknya atau menawar dengan harga tinggi, sehingga calon pembeli yang lain tertarik untuk membeli barang dagangannya. Hal ini dilarang karena dapat menaikkan harga barang-barang yang seharusnya dibutuhkan oleh pembeli.
Rasululah saw bersabda: “Janganlah kamu sekalian melakukan penawaran terhadap barang tanpa bermaksud untuk membeli” (HR. Tirmidzi)
3.      Rekayasa supply (ba’I ikhtikar)
Rekayasa supply dilakukan dengan tujuan untuk mengambil keuntungan diatas harga normal dan melakukannya dengan cara menimbun barang agar barang tersebut tidak beredar di pasar dan kemudian menyebabkan barang tersebut naik.
Dari Ma’ar bin Abdullah bin Fadhlah, katanya, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Tidak melakukan ihtikar kecuali orang yang bersalah (berdosa)” (HR Tirmidzi)
4.      Tallaqi Al-rukban
Yang dimaksud dengan hal ini adalah ketika pengepul yang berada di desa membeli semua barang yang dihasilkan oleh petani sebelum barang itu sampai di pasar atau di kota, biasa dikenal dengan istilah monopsoni. Hal ini dilarang oleh Rasulullah dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kenaikan harga. Beliau memerintahkan agar barang-barang langsung dibawa ke pasar, sehingga penyuplai barang dan para konsumen bisa mengambil manfaat dari harga yang sesuai.
5.      Terjadi keadaan Al-Hasr (pemboikotan)
Distribusi barang hanya dipusatkan pada salah satu penjual atau pihak tertentu. Oleh karena itu perlu adanya penetapan harga untuk menghindari penjualan barang dengan harga yang ditetapkan sepihak oleh orang-orang tertentu.
6.      Terjadi koalisi dan kolusi antar penjual (kartel)
Terjadi koalisi dan kolisi antar penjual (kartel) dimana sejumlah pedagang sepakat untuk melakukan transaksi diantara mereka, dengan harga diatas ataupun dibawah harga normal.
7.      Ta’sir (penetapan harga)
Penetapan harga adalah salah satu praktik yang tidak diperbolehkan oleh syariat islam. Rasululah saw bersabda; ‘Fluktuasi harga itu adalah perbuatan Allah, sesungguhnya saya ingin berjumpa dengan-Nya, dan saya tidak melakukan kedzaliman pada seorang yang bisa dituntut dari saya’ (HR Abu Dawud).[12]
8.      Larangan ba’I ba’dh ‘ala ba’dh
Praktik yang dimaksud adalah melakukan lonjakan atau penurunan harga oleh seseorang dimana kedua belah pihak yang melakukan tawar menawar masih melakukan dealing, atau baru akan menyelesaikan penetapan harga. Rasulullah saw bersabda: “Janganlah sebagian dari kamu menjual atau penjualan sebagian yang lain” (HR Tirmidzi).[13]
9.      Larangan maks (pengambilan bea cukai/pungli)
Dengan adanya beacukai hanya akan menimbulkan melambungnya harga secara tidak adil, maka islam tidak setuju dengan adanya cara ini. Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk syurga orang yang mengambil beacukai”.[14]
10.  Penipuan (tadlis)
Jika seorang pembeli dan juga penjual memiliki informasi yang sama mengenai suatu barang yang diperjual belikan maka itu disebut pasar yang ideal. Ketika suatu pihak tidak memiliki informasi yang sama dengan yang dimiliki oleh pihak yang lainnya (assymetric information), maka salah satu pihak akan merasa dirugikan dan terjadi kecurangan atau penipuan.[15]


Ibnu Taimiyah mengakui jika keuntungan merupakan motivasi para pedagang, menurutnya pada pedagang berhak untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang benar yang dapat diterima secara umum tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para konsumen. Ia juga mendefinisikan keuntungan yang adil sebagai laba normal secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu tanpa merugikan orang lain.[16]
Ia juga tidak setuju mengenai tingkat keuntungan yang tidak lazim dan bersifat eksploitatif (ghaban fah’sy) dengan menggunakan kesempatan ketidakpedulian konsumen terhadap keadaan pasar yang terjadi (mustarsil). Ia menjelaskan, ketika seseorang memperoleh barang dan memperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan dan dikemudian hari diizinkan untuk melakukan hal itu, namun mereka tidak boleh mengenakan keuntungan yang lebih tinggi daripada harga yang sedang berlaku terhadap orang miskin dan seharusnya tidak menaikkan harga terhadap mereka yang sangat membutuhkan.
Seorang pedagang tidak boleh mengenakan harga yang lebih tinggi daripada harga normal kepada orang yang sedang tidak sadar. Dan juga ketika seorang konsumen sangat membutuhkan suatu barang yang menjadikan permintaan konsumen terhadap barang itu menjadi inelastis, seorang pedagang harus tetap mengenakan keuntungan yang sama dengan keuntungan yang diperoleh dari orang lain yang sifat permintaannya elastis.
Jika suatu keuntungan individu dilindungi atau mendatangkan kerugian dan penderitaan kepada beberapa orang lainnya atau masyarakat secara keseluruhan, maka islam telah menetapkan semua perdagangan itu sebagai hal yang haram.
Penyuapan, pencurian, perjudian, spekulasi, penumpukan dan penahanan bahan-bahan kebutuhan pokok dengan menaikkan harga dan memonopoli cara-cara produksi oleh suatu atau beberapa orang yang membatasi orang lain adalah hal yang diharamkan.
Al-Ghazali bersikap sangat kritis terhadap laba yang berlebihan, menurutnya jika seorang pembeli menawarkan harga yang lebih tinggi dari pada harga yang berlaku, penjual harus menolaknya karena laba akan menjadi berlebih walaupun hal itu bukanlah suatu hal yang haram jika tidak ada unsur penipuan didalamnya.[17]


Konsep harga menurut Ibnu Taimiyah, harga yang adil pada hakikatnya telah ada sejak kehadiran islam, di dalam Al-quran pun juga menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajar ketika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar khususnya harga.
Konsep harga dalam kasus penjualan barang-barang cacat telah digunakan dalam penyusunan berbagai aturan transaksi bisnis oleh para Fuqaha. Mereka berpikir bahwa harga yang adil adalah harga yang dibayar untuk objek serupa, oleh karena itu mereka mengenalnya dengan harga setara. Ibnu Taimiyah merupakan orang pertama kali menaruh perhatian terhadap permasalahan harga adil.
“Jika penduduk menjual barang secara normal (al-wajh al-ma’ruh) tanpa menggunakan cara-cara tidak adil, kemudian harga tersebut meningkat karena pengaruh kelangkaan barang karena penurunan supply, atau karena peningkatan jumlah pendududuk (peningkatan demand) karena peningkatan harga-harga tersebut atas kehendak Allah.”[18]
Diatas disebutkan “dengan jalan yang normal tanpa menggunakan cara-cara tidak adil”, yang memiliki makna bahwa harga yang setara itu merupakan harga yang kompetitif dan tidak disertai penipuan, karena harga yang wajar terjadi pada pasar kompetitif dan hanya praktik yang penuh dengan penipuan yang menyebabkan kenaikan harga.
 Abu Yusuf termasuk ulama yang paling awal yang mulai menyinggung mengenai mekanisme pasar, seperti memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam katannya dengan perubahan harga. Dengan kata lain pemahaman pada masa Abu Yusuf tentang hubungan harga dengan kuantitas hanya memperhatikan kurva demand, fenomena ini yang kemudian dikritisi Abu Yusuf dalam literatur kontemporer, fenomena yang berlaku pada masa Abu Yusuf dapat dijelaskan dalam teori permintaan. Formulasi dalam teori permintaan menunjukkan bahwa pengaruh harga terhadap jumlah permintaan suatu komoditi negatif.
Abu Yusuf mengatakan “Tidak ada batasan tertentu tentang murah atau mahal yang dapat dipastikan, hal tersebut ada yang mengaturnya, prinsipnya tidak bisa diketahui, murah bukan karena melimpah dan begitu pula mahal bukan karena kelangkaan.”[19]


Islam sangat menjunjung tinggi keadilan (al-adl/justice), termasuk juga didalamnya mengenai penentuan harga. Terdapat beberapa terminologi dalam bahasa arab yang maknanya menuju kepada harga yang adil. Antara lain adalah si’r al-mitsl, tsaman al mitsl dan qimah al-‘adl. Istilah qimah al-‘adl (harga yang adil) pernah digunakan oleh Rasulullah saw dalam mengomentari kompensasi bagian untuk pembebasan budak, dimana budak ini akan menjadi manusia merdeka dan majikannya tetap memperoleh kompensasi dengan harga yang adil (shahih muslim).
Penggunaan istilah ini juga ditemukan dalam laporan tentang Khalifah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Umar menggunakan istilah harga yang adil ini ketika menetapkan nilai baru atas diyat (denda), setelah nilai dirham turun sehingga harga-harga naik.
Adanya suatu harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalam transaksi yang islami. Secara umum harga yang adil ini adalah harga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang lainnya.
Islam menghargai hak penjual dan pembeli untuk menentukan harga sekaligus melindungi hak keduanya. Dalam islam diperbolehkan untuk melakukan intervensi harga bagi pemerintah, bila kenaikan harga disebabkan oleh distorsi terhadap permintaan dan penawaran. Intervensi harga yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain:
1.      Intervensi harga menyangkut kepentingan masyarakat untuk melindungi penjual dalam hal profit margin sekaligus melindungi pembeli dalam hal purchasing power.
2.      Jika tidak dilakukan intervensi harga maka penjual dapat menaikkan harga dengan cara ikhtikar yang mana dapat mendzalimi konsumen.
3.      Konsumen biasanya mewakili masyarakat yang lebih luas, sedangkan produsen atau penjual mewakili masyarakat yang lebih sempit, sehingga intervensi harga berarti pula melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas.[20]
Keadilan merupakan nilai paling mendasar dalam ekonomi islam. Seluruh ulama terkemuka sepanjang sejarah islam menempatkan keadilan sebagai unsur paling utama dalam maqashid Syariah. Sayyid Qutb menyebutkan keadilan sebagai unsur pokok komprehensif dan terpenting dalam aspek kehidupan. [21]
Menurut Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), berdasarkan makna adil yang ada dalam al-quran, maka bisa disimpulkan nilai turunan yang berasal darinya sebagaimana berikut:[22]
a.       Persamaan kompensasi
Persamaan kompensasi merupakan pengertian adil yang paling umum, yaitu bahwa seseorang harus memberikan kompensasi yang sepadan kepada pihak lain sesuai dengan pengorbanan yang telah dilakukannya. Pengorbanan yang telah dilakukan ini yang menyebabkan seorang memperoleh hak untuk mendapatkan balasan yang seimbang atas pengorbanannya.
b.      Persamaan hukum
Yang dimaksudkan dalam persamaan hukum adalah setiap orang harus diperlakukan sama di muka hukum. Tidak ada diskriminasi terhadap siapapun di hadapan hukum atas dasar apapun. Dalam konteks ekonomi maka setiap orang harus diperlakukan sama dalam setiap aktivitas maupun transaksi ekonomi. Tidak ada alasan untuk melebihkan suatu golongan tertentu diatas golongan lainnya.
c.       Moderat
Moderat dalam hal ini dimaknai dengan posisi yang berada di tengah. Nilai adil dianggap telah diterapkan seseorang jika seseorang tersebut mampu memposisikan dirinya dalam posisi di tengah. Hal ini memberikan implikasi bahwa seseorang harus mengambil posisi ditengah dalam artian tidak mengambil keputusan yang terlalu memberikan keringanan, seperti pemberian kompensasi.
d.      Proporsional
Adil tidak selalu diartikan kesamaan hak, namun hak ini disesuaikan dengan ukuran setiap individu secara proporsional sesuai tingkat kebutuhan, kemampuan, pengorbanan, tanggung jawab ataupun kontribusi yang diberikan oleh seseorang.

Kegiatan jual-beli di dalam islam merupakan kegiatan yang melibatkan hubungan antara manusia (penjual) dengan manusia lain (pembeli) dan bercirikan ketuhanan (Qardhawi, 2000). Sementara dalam pandangan Al-Maududi (2005), perbedaan antara bisnis atau sistem ekonomi islam dengan paham kapitalis dan sosialis terdapat pada letak norma yang melingkupinya, yaitu kejujuran, keadilan, persaudaraan, dan altruism.
Dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia, maka setidaknya seorang penjual harus berlaku jujur (shiddiq) kepada pembeli sehingga tidak terjadi penipuan didalam bertransaksi (Afzalurrahman, 2000). Sedangkan menurut (Hartropp, 2010), kejujuran tidaklah cukup tanpa disertai keadilan di dalam memperlakukan pelanggan dan lingkungan dimana perusahaan beroperasi. Keadilan akan mengurangi kesenjangan pemenuhan kebutuhan antar setiap pelanggan (Kolm, 1995).
Di sisi lain, masih banyak umat manusia yang keadaan ekonominya tergolong kurang mampu sehingga membutuhkan perhatian lebih dari sesamanya agar dapat terus bertahan hidup. Sebagai sesama makhluk ciptaan Allah, seorang penjual juga harus memiliki sifat kemanunggalan (ukhuwwah) dengan saling tolong-menolong dilandasi rasa kasih sayang untuk membantu sesamanya yang tidak mampu (Shihab, 1997).
Bahkan menurut Al-Maududi, meskipun setiap orang mempunyai hak untuk memiliki kekayaan, tetapi kepentingan kehidupan umat manusia pada umumnya adalah yang tertinggi karena mereka mempunyai hak untuk hidup dan hak kepemilikannya.
Oleh karena itu dalam system ekonomi islam bercirikan ketuhanan, maka setiap aktivitas pelaku bisnis merupakan bentuk pengabdian kepada sang Penciptanya. Dengan demikian, setiap pelaku bisnis memposisikan dirinya sebagai hamba yang siap bekerja optimal untuk memenuhi tugas Penciptanya. Oleh karena itu, seorang pengusaha semestinya memahami nilai kehambaan (tauhid) di dalam pengabdiannya. (Qardhawi, 2000).
Adapun nilai-nilai amanah, ikhlas, ihsan, mashlahah, istikhlaf, dan qanaah menjadi pendukung keempat nilai tersebut dalam merumuskan konsep harga jual. Nilai-nilai tersebut sebagai penunjang nilai kehambaan didalam mengabdi kepada sang Pencipta.


Kesimpulan


Merujuk pada penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa berbagai macam metode penetapan harga tidak dilarang oleh Islam dengan ketentuan sebagai berikut; harga yang ditetapkan oleh pihak pengusaha /pedagang tidak menzalimi pihak pembeli, yaitu tidak dengan mengambil keuntungan diatas normal atau tingkat kewajaran. Tidak ada penetapan harga yang sifatnya memaksa untuk para penjual selama mereka mengambil keuntungan yang sewajarnya dan juga tidak merugikan orang lain. Harga disepakati oleh kedua belah pihak baik dari pembeli maupun penjual. Harga merupakan titik keseimbangan antara kekuatan permintaan dan juga penawaran pasar yang telah disepakati secara suka rela. Apabila sebuah keseimbangan telah terganggu maka pemerintah atau pihak yang berwenang dalam hal ini dapat melakukan intervensi terhadap pasar dengan menjunjung tinggi asas-asas keadilan baik terhadap pihak pedagang atau pengusaha maupun terhadap pihak konsumen.


Referensi


Alimuddin. 2011. Konsep Harga Jual Maslahah Berbasis Nilai-nilai Islam. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/22171/4Konsep%20harga%20jual%20Islam.pdf?sequence=1 (diakses pada tanggal 27 Maret 2020).
Kamalia. 2011. Mekanisme Penetapan Harga Dalam Pandangan Ekonomi Islam. http://repository.uin-suska.ac.id/2085/1/2011_2011283.pdf (diakses pada tanggal 27 Maret 2020).
Parakkasi, Idris. 2018. Analisis Harga dan Mekanisme Pasar Dalam Perspektif Islam. http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/lamaisyir/article/download/4982/4428 (diakses pada tanggal 27 Maret 2020).
Hilal, Syamsul. 2014. Konsep Harga Dalam Ekonomi Islam. https://media.neliti.com/media/publications/177467-ID-konsep-harga-dalam-ekonomi-islam-telah-p.pdf (diakses pada tanggal 27 Maret 2020).
Digital Library UIN Surabaya. Penetapan Harga Dalam Islam. http://digilib.uinsby.ac.id/18443/5/Bab%202.pdf (diakses pada tanggal 27 Maret 2020).
Repository UIN Raden Intan. Konsep Harga Menurut Ekonomi Islam. http://repository.radenintan.ac.id/1166/3/BAB_II_REVISI_MUNA.pdf (diakses pada tanggal 27 Maret 2020).
Nuryadin, Muhammad Birusman. Harga Dalam Perspektif Islam. https://basecampumj.files.wordpress.com/2010/11/cost.pdf (diakses pada tanggal 27 Maret 2020).


[1] Tim. Reality, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia Dilengkapi Ejaan Yang Benar (Jakarta:PT. Reality Publisher 2008)
[2] Abu Malik Kamal Bin Assayid Salim, Sahih Figh Assunah wa adhilatuhu wa tauhid mazdzhib Al- Imnah Terj. Sahih Fiqih Sunnah Khairul Amru Harahap (Jakarta: Pustaka Azzam 2007) Cet. Ke-1 h.471
[3] Thomas J, Pemasaran dan pasar, (Jakarta: Gema insani press, 2001) Cet. Ke-1 h.34
[4] Henry Faizal Noor, Ekonomi Menejerial (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2007) Cet. Ke-1 h. 303.
[5] Fandy Tjiptono. Strategi Pemasaran (Yogyakarta: Penerbit Andi, 1997), h. 151
[6] Fandy Tjiptono, loc. cit. h. 152
[7] Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual (Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer) h. 91
[8] Muhammad Yusuf Qardhawi, Halam & Haram dalam Islam h. 354
[9] Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual (Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer) h. 92
[10] Fandy Tjiptono. Strategi Pemasaran (Yogyakarta: Penerbit Andi, 1997), h. 152-153
[11] Ibnu Khaldun. The Muqaddimah, English Edition Transl. Franz Rosenthal (London: Rontledge & Kegan Paul, 1967), h. 338.
[12] Abu Daud, Sunan Abu Daud, No Hadits 3450, jilid III, Dar al-Hadits Syuriah,tt.
[13] At-Tirmizy, Al-Jami Shahih Sunan At-Tirmizy, No Hadits 1310, Juz III, Dar al-Fikri Beirut, h 37
[14] Hadits ini dikutip oleh S.M.Yusuf, op.cit., h 47 dan Mustaq Ahmad, op.cit, h 148
[15] Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islami, h. 15
[16] Adiwarman Karim, Op. cit h. 142
[17] Ibid Jilid-4 h.79
[18] Muchlis Sabir, Riyadlus Shalihin, (Semarang, CV. Toha Putra: 1981), cet, 1 h. 16
[19] mam Asy- Syaukani, Log.cit, h. 104
[20] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar (Yogyakarta: Ekonomisia,2002), h. 203
[21] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam (Jakarta:Rajawali Press,2009),h.59
[22] Ibid, h. 60