DESA WAE REBO, FLORES.
Desa
Wae Rebo sering disebut “desa diatas awan” karena memang posisinya berada di
antara dataran tinggi, berada pada ketinggian 1200 mdpl. Dengan masyarakat yang
masih mempertahankan budaya dan keunikan yang mereka miliki. Memiliki rumah
dengan ciri khas yang unik, berbentuk kerucut yang beratapkan ijuk, yang
disebut Mbaru Niang. Dalam satu rumah Mbaru Niang bisa dihuni oleh sekitar 6
keluarga.
Untuk
mencapai Wae Rebo ada 2 pilihan yang bisa dipakai, pertama menggunakan agen tour
yang sangat mudah karena perjalanan menggunakan mobil, mendapatkan jatah makan
yang teratur, dan juga guide. Namun pilihan ini teruntuk kalian yang memiliki
modal besar dalam perjalanan dan ingin lebih santai karena tidak perlu
mengendarai motor yang cukup lama. Biaya yang dikeluarkan mulai 1.2 jt sampai
dengan 1.8 jt untuk perjalanan selama 2 hari. Biasa guide menyediakan
dokumentasi juga, untuk harga 1.8 jt akan mendapat fasilitas drone untuk
pengambilan gambar dan video dari atas udara untuk mendapatkan view berbeda.
Pilihan kedua berangkat sendiri dengan menyewa
motor, dapat disewa disepanjang jalan Sukarno-hatta yang terletak disebelah
pelabuhan Labuan Bajo. Biaya sewa perhari Rp 75.000 dengan menyerahkan KTP
sebagai jaminan, kondisi motor masih terbilang baru dan bagus. Mengingat jarak
yang cukup jauh dari pusat keramaian Labuan Bajo, yaitu sekitar 150 km, separuh
perjalanan pertama masih dengan jalan yang bagus dan sebagian baru di perbaiki,
setengah jalan berikutnya yang merupakan jalur pantai merupakan jalur yang
cukup rusak, berbatu, melewati beberapa sungai kecil yang tidak memiliki
jembatan dan juga sepi, jadi dibutuhkan waktu sekitar 4 jam untuk mencapai Desa
Denge, desa terdekat dari Wae Rebo yang merupakan pos pertama sebelum mendaki.
Ketika
Anda berada di Labuan Bajo, hanya perlu mengikuti papan penunjuk jalan menuju
Ruteng, karena memang jalan yang digunakan searah, dan tidak terlalu banyak
persimpangan mengingat daerahnya merupakan area pegunungan, jadi cukup mudah
untuk dilalui. Setelah mencapai daerah Lembor, lebih tepatnya pasar Lembor ada
pertingaan ke kanan yang mengarah ke Desa Nanga Lili, jalannya tidak terlalu
besar memang tapi itu adalah jalan tercepat untuk menuju Wae Rebo dibandingkan
memutar lewat jalur atas yang lebih jauh.
Jalannya
memang cukup sepi dan berada terus di dekat pantai, jalan berbatu dan luapan
air sungai banyak ditemui disini. Untungnya sudah banyak dibangun jembatan
besar sehingga akses lebih mudah. Disepanjang jalan banyak ditemui anak kecil
yang sangat ramah dan sering menyapa turis yang sedang berkunjung kesana,
sungguh sangat terasa hangat.
Jika
anda menggunakan google maps, Anda tidak bisa langsung mengarahkan maps anda ke
Desa Wae Rebo, karena tidak ada jalur langsung mengarah kesana. Anda dapat
mengarahkan tujuan Anda ke SDK Denge, karena lokasinya tidak jauh dari pos 1
parkiran menuju Wae Rebo.
Sesampainya
di area parkir kendaraan, Anda akan banyak didatangi oleh porter yang
menawarkan bantuan untuk membawakan barang bawaan Anda, tidak diketahui
dengan jelas berapa ongkos yang diperlukan untuk itu. Disediakan
juga tongkat kayu untuk membantu para pendatang mendaki dengan harga sewa
10.000 rupiah per tongkat.
Menurut para porter tersebut, jarak yang akan dilalui sejauh 5 km. Pada awal memulai sudah disambut dengan jalanan
yang cukup menanjak sampai dengan pos 2, posnya hanya sekadar pagar besi yang bias
melihat view pegunungan, setelah pos 2 sampai dengan pos 3 jalan sudah mulai
cukup stabil dan landai dibandingkan dengan sebelumnya.
Sangat tidak direkomendasikan untuk memakai
flat shoes atau sandal jepit. Pakailah sepatu atau sandal gunung dan juga kaos
kaki karena menurut beberapa orang mereka banyak menemukan lintah yang menempel di
kaki sepanjang perjalanan, dikarenakan musim penghujan.
Tak
lama setelah Saya mulai mendaki, awan pun mulai menutupi area tersebut dan
turunlah hujan yang cukup deras, sangat lama dan tidak kunjung reda, jadi
jangan lupa untuk selalu membawa payung ataupun jas hujan saat hendak kesana. Jalan
licin juga menghambat jalannya kaki ini, tidak ditemukan seorang pun
diperjalanan hingga sampai pada pos terakhir, terdapat 2 orang yang sedang
meneduh karena tidak membawa peralatan anti hujan.
pos 3 |
Di
pos 3 ini terdapat sebuah bambu yang harus di pukul untuk menandakan ada orang
yang hendak berkunjung ke desa tersebut. Desa sudah terlihat dari pos 3 ini,
berarti perjalanan tidaklah jauh lagi. Trekking memerlukan waktu 1 jam 45
menit, untuk orang yang terbiasa berjalan ataupun olahraga, beberapa teman lain
ada yang 2,5 jam dan 3,5 jam untuk dapat sampai ke Wae Rebo.
Melihat
lamanya perjalanan yang dilalui, tidak disarankan untuk tek tok atau
pulang-pergi di hari yang sama, karena akan sangat melelahkan. Biaya untuk
menginap sebesar 350.000 rupiah, sudah termasuk makan 2 kali saat kalian
sampai, dan juga sarapan dikeesokan harinya.
Awal
mulai memasuki desa, akan diarahkan untuk menuju rumah utama ketua adat untuk
menjalani proses upacara penyambutan, tujuannya untuk memintakan izin kepada
leluhur setempat bahwa ada tamu yang hendak berkunjung.
Cerita
warga setempat, ada seorang turis asing yang sedang berkunjung, dikarenakan
sedang ada perayaan di desa, jadi tidak semua pengunjung bisa mengikuti upacara
penyambutan. Dia melakukan beberapa take foto, setelah dilihat, foto pun tidak
ada dan hilang.
Guide book dan kopi Wae Rebo. |
Penginapan berada di rumah adat Mbaru Niang di sisi kiri yang paling ujung, diisi sekitar 30 orang, disediakan juga
selimut tebal dan bantal. Membawa pakaian hangat akan sangat
membantu. Kamar mandi tidak seperti yang kalian bayangkan, mandi bersama di
sungai atau sejenisnya. Kamar mandi sudah disediakan khusus untuk para
wisatawan yang ingin menginap, dengan kondisi yang cukup bersih dan air yang sangat dingin. Setiap
tamu yang datang akan disuguhi oleh kopi khas Wae Rebo yang menjadi komoditas
utama warga sekitar.
Tidak
ada sinyal yang bisa menjangkau sampai ke desa ini, begitu pula listrik, hanya
bisa menggunakan genset di malam hari sampai dengan pukul 10 malam, selain itu
lampu menyala menggunakan solar sel.
Justru
dengan berkumpulnya 30 orang wisatawan dalam satu atap yang sama ini dan juga
ketidakadaan sinyal menjadikan kami saling berinteraksi satu dengan lainnya, bercerita
mengenai perjalanan masing-masing dan bersenda gurau, suasana yang sangat
nyaman.
Desa ini sangat instagramable jika bisa mendapatkan titik foto yang bisa meng-capture keseluruhan rumah Mbaru Niang. Untuk
mendapatkan spot foto yang bagus diperlukan menaiki bukit depan desa sekitar
20-30 meter agar view yang didapat lebih luas. Jika beruntung dan tidak mendung
ataupun berkabut dapat menikmati indahnya sun rise dari balik bukit belakang
desa.
Setiap pagi biasanya warga desa mengolah kopi, termasuk menumbuk biji
kopi di halaman depan rumah masing-masing. Para muda mudi desa ini banyak yang
bersekolah di kota terdekat, dan hanya pulang saat weekend saja menjadikan desa
ini lebih sepi karena hanya ada orang tua dan juga anak-anak.
Sangat disarankan untuk berangkat sendiri menggunakan sepeda motor karena akan sangat menghemat biaya. Total biaya yang dikeluarkan adalah 350.000 untuk retribusi desa, 75.000 x 2 hari untuk sewa sepeda motor, 75.000 untuk bensin, dan siapkan beberapa untuk makan saat perjalanan. Dan juga kalian bisa menikmati indahnya bukit-bukit dan juga pantai di sepanjang perjalanan.
Untuk info lebih lanjut mengenai perjalanan ini bisa hubungi WA di +6281410204522 dan Instagram di @Khafid_nrd